USD Akreditasi A English Version Alumni Email USD

Fakultas Teologi Universitas Sanata Dharma (USD) Gelar Seminar Teologi Internasional yang ke-2

diupdate: 1 bulan yang lalu

x

Selasa, 19 Maret 2024, Fakultas Teologi Universitas Sanata Dharma (USD) kembali menggelar seminar internasional yang bertajuk The 2nd International Conference on Theology, Religion, Culture, and Humanities. Kegiatan ini mengusung tema "Faith in Action: Theology for a Changing World". Seminar ini mengajak para peserta memandang dunia yang berubah lewat kacamata teologi. Seminar ini dihadiri oleh Albertus Bagus Laksana, S.J. S.S., Ph.D. selaku Rektor USD dan Dr. C.B. Mulyatno, Pr. selaku Dekan Fakultas Teologi USD, serta ada empat narasumber yang hadir dalam seminar kali ini, yaitu Dr. Clifard Sunil Ranjar, SJ. (Pontificio Istituto Biblico, Italia), Dr. Filipe Domingues (Pontificia Universita Gregoriana, Italia), Sr. Cynthia Emeka (Catholic University of Eastern Africa, Kenya), dan Dr. Johanes Haryatmoko, SJ. (USD).
 
Dalam sambutannya, Cardinal Miguel Angel Ayuso, M.C.C.J. (the Prefect of the Dicastery for Interreligious Dialogue, Vatican City) yang diwakilkan oleh Markus Solo Kewuta, S.V.D. (Dicastery for Interreligious Dialogue) menyampaikan bahwa seminar kali ini membahas beberapa masalah mendesak di masa kini, dan masalah tersebut mencerminkan persoalan mendasar yang banyak ditemui dan akan terus muncul ke depannya di abad ke-21. Empat permasalahan diantaranya adalah globalisasi dengan skala dan kecepatan yang berbeda dari masa lalu, krisis iklim terutama dengan isu keadilan yang menimpa orang-orang menderita, migrasi dan pengungsi akibat konflik dan kekerasan, serta kebangkitan agama akibat turunnya kepercayaan pada iman Kristiani di banyak negara. Berangkat dari permasalahan tersebut, Gereja Katolik percaya bahwa melakukan dialog dengan agama-agama lain dapat membangun jalan ke perdamaian dunia dan harmoni.
 
“Gereja Katolik sudah melakukan hal ini (dialog dengan berbagai agama) selama beberapa dekade dan dengan dinamika yang baru, lebih tepatnya setelah Konsili Vatikan II, bisa membuktikan bahwa dialog sudah menjalani dan terus membangun persaudaraan yang universal dan persahabatan sosial yang menuju pada perdamaian dunia dan harmoni di tengah perbedaan agama,” ungkapnya.
 
Albertus Bagus Laksana, S.J. S.S., Ph.D. (Romo Bagus) juga menyinggung tentang isu populisme di politik berbagai negara, termasuk Indonesia. Beliau melihat bahwa agama dan teologi seolah tidak berhubungan dengan isu tersebut. Menurutnya, teologi perlu dipraktekkan sebagai bentuk diskusi dan juga sebagai bagian dari diskusi sosial yang lebih luas. 
 
“Kebaikan mulai dari sesuatu yang sederhana dan gestur cinta kasih sehari-hari serta perhatian pada sesama, tetapi itu juga harus berubah menjadi budaya yang mengubah segala hubungan. Maka, teologi memiliki peran untuk mengubah kebaikan, dialog, dan pertemuan menjadi budaya yang istimewa yang mengajak untuk berbuat aksi bermakna, ” tutur Romo Bagus.
 
Selain itu, Dr. C.B. Mulyatno, Pr. selaku Dekan Fakultas Teologi USD menyatakan harapannya mengenai seminar ini. Beliau berharap bahwa seminar ini dapat membantu meningkatkan kepercayaan kita dan menumbuhkan kolaborasi di dalam komunitas.
 
“Dalam konteks waktu yang berubah dengan pesat, iman adalah pengalaman religius dengan Tuhan dan sesama. Tanggung jawab dalam pengembangan hidup juga bagian dari iman. Kolaborasi adalah kekuatan yang mengizinkan kontribusi kita untuk menjadi lebih signifikan. Semoga seminar ini membantu kita mengingkatkan semangat kita untuk percaya dan melakukan kolaborasi untuk mengembangkan kualitas kehidupan di komunitas,” harapnya.
 
Dr. Johanes Haryamoko, SJ. pada presentasinya yang berjudul “The Condition of Possibility for a Culture of Peace and Tolerance: Instead of Proselytism, Religions are Called to Create Works of Art” memaparkan bahwa agama mendapat ajakan untuk menjadikan kehidupan sebagai sebuah keindahan, artinya ikut serta dalam kehidupan bersama dan berbagi makna kepada semua orang. Kehidupan sebagai sebuah keindahan berarti membuka akses terhadap hal-hal universal justru melalui pembuktian keaslian hal-hal partikular yang diwakilkan oleh agama. Otentikasi ini merupakan bentuk kebebasan yang dapat membebaskan diri dari partikularisme. 
 
“Kita bisa melihat orang-orang seperti Mahatma Gandhi, Bunda Teresa, Gus Dur, dan Romo Mangun, adalah ekspresi keindahan, semacam perwujudan universalitas-kongkrit. Bersifat universal karena tokoh-tokoh tersebut diterima oleh semua kelompok agama, dan bersifat konkrit karena berakar secara konkrit dalam kehidupan partikularitas agamanya. Kehidupan mereka dianggap berjasa karena berkontribusi terhadap kemajuan umat manusia berkat lingkungan pendidikan dan keagamaan masing-masing di mana mereka dibesarkan,” ucapnya.
 
Beliau juga melanjutkan bahwa penerimaan terhadap pluralitas agama tidak lepas dari keterbatasan pemahaman manusia akan kesempurnaan Tuhan. 
 
“Perbedaan penafsiran antar agama justru menunjukkan betapa kayanya kepenuhan Tuhan. Tuhan itu kaya dan tidak terbatas pada tradisi-tradisi agama yang tentu saja ada batasnya. Kepenuhan Tuhan lebih baik terungkap melalui pluralitas agama dibandingkan hanya melalui satu agama saja. Jadi, pluralitas lebih merupakan bentuk pengakuan atas keterbatasan manusia dalam meraih kepenuhan Tuhan,” ungkapnya.
 
Sesi yang dibawakan Dr. Clifard Sunil Ranjar, SJ. yang berjudul “Faith that Leads to Action: Perspectives from the Acts of the Apostles” membahas mengenai bagaimana teologi dapat mengubah dunia dengan menempatkan kedua gambaran kehidupan komunitas ini segera setelah pencurahan Roh Kudus, dan menempatkannya di awal Kisah Para Rasul, Lukas menunjukkan kepada pembacanya pemahamannya tentang gereja sebagai perwujudan sabda nubuatan yang diwartakan Yesus dalam Injil. Pemaparan ini didasarkan pada Injil Lukas dan Kisah Para Rasul.
 
Father Clifard juga memaparkan inspirasi bagi bentuk-bentuk pemuridan komunal yang radikal, seperti Para pertapa benar-benar menyerahkan semua harta benda mereka dan menjalani kehidupan yang sangat miskin, Ordo keagamaan Cenobite mengambil inspirasi dari bagian Kisah Para Rasul ini, Kehidupan komunitas beberapa ordo dan jemaah agama dicontohkan oleh ringkasan ini.
 
Sr. Cynthia Emeka, DDL. membawakan sebuah presentasi yang berjudul “Theological Response to Challenges in Evangelization: Integrating Faith into Action” membahas tentang tiga poin utama, yaitu memahami konsep pewartaan, kesulitan dalam pewartaan, dan konkretisasi iman menjadi aksi nyata. Beliau menyatakan bahwa penyebaran Injil merupakan sesuatu yang mendesak khususnya di masa sekarang. Selain itu, globalisasi, sekularisasi, penemuan di bidang sains dan inovasi teknologi, serta masalah lingkungan perlu perhatian lebih dan aksi nyata. Maka dari itu, perhatian khusus dan komitmen dari Gereja dibutuhkan untuk menemukan kembali asal mula misionaris.
 
“Kita berkumpul di seminar ini karena kita dipanggil untuk berinteraksi dengan perubahan pada dunia masa kini dan merespon dengan visi dan keberanian. Dalam masa kini, refleksi teologi kita harus didasarkan pada pemahaman mendalam,” ungkapnya.
 
Pembicara terakhir adalah Dr. Filipe Domingues yang membawakan materi berjudul “Young People and the Synod: Insights for Evangelization”. Pada materi ini, beliau memaparkan mengenai peran pemuda dan pemudi pada sinode di masa sekarang. Beliau menekankan bahwa sinode harus menjadi intergenerasional bagi kaum muda di berbagai lingkup. Artinya, sinode hendaknya menjadi tempat kaum muda untuk berpendapat dengan bebas tanpa ancaman dan bisa berdiskusi dengan rekan sejawat, keluarga, pastor, serta di media digital.
 
“Peran kaum muda dalam proses pewartaan injil sangatlah menarik di budaya digital karena kita hidup di masa yang mana teknologi berkembang dengan pesat. Setiap hari kita punya teknologi baru, termasuk artificial intelligence (AI) yang tidak dipahami oleh generasi tua. Jadi, seringkali kaum muda lebih paham dengan proses teknologi. Maka dari itu, hendaknya kita mengajak kaum muda agar kita bisa saling membantu dan melakukannya bersama,” tutupnya.
 
(CJM/JMA-Humas)

  kembali