USD Akreditasi A English Version Alumni Email USD

Diskusi HISKI USD Bersama Majalah BASIS: "Sastra dan Malapetaka"

diupdate: 3 tahun yang lalu




Himpunan Sarjana-Kesusastraan Indonesia (HISKI) Komisariat Universitas Sanata Dharma (USD) berkolaborasi dengan Majalah BASIS mengadakan diskusi secara daring dengan tema “Sastra dan Malapetaka” pada hari Kamis, 22 Juli 2021. “Tema yang sangat relevan dengan kondisi bangsa Indonesia di tengah pandemi Covid-19 ini akan dibedah secara mendalam oleh para narasumber”tutur Epata Puji Astuti, M.A.yang memandu webinar sebagai moderator.

Dr. J. Haryatmoko, S.J sebagai narasumber pertama, memaparkan karya tulisnya yang sudah pernah terbit di Majalah BASIS yaitu “Albert Camus: Menjadi Sederhana (Ajakan Kebebasan Saat Cinta Melampui Diri)”. Pada novel “Sampar” karya Albert Camus, menurutnya memiliki lima posisi moral dan filosofis. Salah satunya adalah malapetaka bukan hukuman kolektif dari Tuhan tetapi malapetaka adalah kesempatan yang menantang manusia untuk bekerja keras mengatasi penderitaan dan kejahatan serta memberi makna hidup. Kemudian simpati dan belarasa terhadap korban yaitu cara untuk menghadapi penderitaan agar tidak mengendorkan solidaritas dan tidak mudah menyalahkan. Simpati dan belarasa menuntut pelampauan diri sebagai ungkapan cinta yang dalam. Dosen USD sekaligus penulis aktif di Kompas dan Majalah BASIS ini juga menambahkan bahwa sastra tidak bisa dipisahkan dari keindahan maka menolak dikekang.

Narasumber kedua, Paulus Sarwoto, Ph.D., memaparkan “Ketika Sastra Menafsir Malapetaka” yang merupakan gagasan-gagasan spontanitas yang muncul dari dalam dirinya. Dosen Pascasarjana Kajian Bahasa Inggris USD ini menyampaikan petaka bisa dipahami sebagai pesroalan estetik, politik, ras, gender, etika, moral, ekologi, atau eksistensial. Albert Camus yang menciptakan teori absurdity bahwa absurditas itu mengacu pada kesia-siaan pencarian makna dalam sebuah dunia yang tidak bisa dipahami oleh sebuah dunia yang tanpa Tuhan dan yang tanpa makna. Di satu sisi manusia menginginkan keteraturan, makna, kebahagiaan, tetapi di sisi lain sepertinya indiferen semesta ini tidak peduli dan menolak untuk memberikan jawaban. Ketua HISKI Komisariat USD ini juga menyampaikan jalan keluar absurditas ada 3 kemungkinan ketika dihadapakan pada keingintahuan makna dari persitiwa-peristiwa tragis tapi di sisi lain tidak ada jawaban seperti mengapa orang baik harus menderita, mengapa anak tunggal harus terrenggut dari keluar di saat pandemi Covid-19, yaitu: literal suicide, philosophical suicide, dan berontak. Albert Camus menganggap kemungkinan pertama dan kedua di atas adalah easy answer. Untuk itu disimpulkan  dalam menyelami absurditas ini sastra menolak jawaban malas (literal and philosophical suicide), menolak kesalehan palsu (self-centered false conciouness), dan pemberontakan yang selalu minta dirumuskan ulang.

Dilanjutkan narasumber ketiga, Dr. G. Sindhunata, S.J. yang menjelaskan lebih dalam tentang akar kekerasan dan malapetaka terkait karya-karya beliau. Redaktur Majalah BASIS ini menegaskan pada kesempatan kali ini hanya bisa menambah apa yang sudah dijelaskan Romo Moko dan Bapak Sarwoto sebelumnya dari pengalamannya sebagai penulis dan wartawan. “Kebahagiaan bagi Camus tidak lain adalah bahwa kita berani menghadapi apa yang di dunia ini ternyata kacau balau, terpecah-pecah, sobek di sana-sini, tanpa mengharapkan suatu solusi”. Penulis Kambing Hitam: Teori Rene Girard ini yakin di pandemi Covid-19 masyarakat yang memiliki solidaritas tinggi dan saling tolong menolong di peradaban yang sudah maju ini seharusnya, menurut Teori Rene Girard, budaya kambing hitam juga sudah hilang.

Pada sesi tanya jawab, Antonius Herujiyanto, salah satu peserta zoom meeting, menanyakan kepada ketiga narasumber tentang konsep malapetaka kekinian terkait Covid-19, apakah sudah diteropong para sastrawan kemudian bagaimana nantinya para sastrawan akan mengungkapkan kegundahan atau kerisauan mereka. Romo Moko menjawab kembali kepada materi yang ditampilkan, “Semakin situasi itu menindas, sulit dan tragis, semakin mendesak untuk memberi komitmen karena dunia menjadi cermin kebebasan.” Di dalam krisis, kita ditantang untuk mengambil keputusan, di situlah sastra melalui para sastrawan memberikan paradigma kehidupan menghadapi malapetaka hidup.

(MDS)

  kembali