USD Akreditasi A English Version Alumni Email USD

Bedah Buku dan Diskusi: "Membaca Kumpulan Cerpen Lama tentang Tragedi 1965”

diupdate: 3 tahun yang lalu



Pusat Kajian Demokrasi dan Hak-hak Asasi Manusia (Pusdema) Universitas Sanata Dharma (USD) pada hari Jumat, 30 April 2021 melaksanakan bedah buku dan diskusi dengan tema “Membaca Kumpulan Cerpen Lama tentang Tragedi 1965”. Kegiatan ini digelar secara daring melalui aplikasi Zoom dan disiarkan secara langsung melalui kanal YouTube Pusdema USD. Pembicara yang terlibat dalam bedah buku dan diskusi kali ini adalah Ibu Ita F. Nadia selaku peneliti sejarah perempuan dan Romo Antonius Sumarwan, SJ yang merupakan mahasiswa Doktoral Queensland University of Technology Australia. Dr. Yoseph Yapi Taum memandu acara ini sebagai moderator sekaligus selaku Wakil Kepala Pusdema.

Dr. Yoseph Yapi Taum menyampaikan bahwa Pusdema memiliki tujuan utama untuk mewujudkan tanggung jawab etis USD sebagai civitas akademika dalam bidang penelitian dan demokrasi masyarakat guna mewujudkan masyarakat Indonesia yang semakin bermartabat. Tragedi 1965 merupakan salah satu mimpi terburuk bangsa Indonesia yang juga dicatat oleh dunia sebagai tragedi genosida terbesar di abad ke-20. Pusdema membuka ruang publik dalam bidang sastra dengan terlibat di bidang demokrasi yang menyimpan memori politik dan membawanya ke dalam percakapan melalui bedah buku dan diskusi tragedi 1965. Pusdema mendorong bedah buku dan diskusi sebagai sebuah percakapan HAM bagi para akademisi dan aktivis menyelenggarakan tugas etis dalam mengaktifkan martabat manusia.

Ibu Ita sebagai pembicara pertama membahas buku berjudul “Perempuan dan Anak-anaknya”. Buku ini merupakan cerita pendek sebagai satu media alat dalam menyadarkan HAM, kesadaran politik dan budaya terutama dalam tragedi 1965. Buku “Perempuan dan Anak-anaknya” merupakan buku yang berisi 12 cerpen berlatar tragedi 1965 dari para penulis dan sastrawan Indonesia. Ibu Ita menyebutkan tiga alasan mengapa buku ini diterbitkan. Yang pertama buku ini berbicara tentang tragedi 1965 sebagai fase peralihan dari orde lama ke orde baru sebagai dokumentasi budaya dan sejarah. Alasan selanjutnya adalah karya sastra merupakan saksi mata yang mengubah sejarah bangsa, dan alasan yang terakhir merupakan media pembelajaran generasi muda tentang perubahan politik besar dari bangsa. “Upaya mendengarkan suara korban menjadi gerakan sosial baru”, ucapnya. Ibu Ita menambahkan bahwa cerpen bisa dijadikan alat untuk membangun kesadaran sosial, politik, dan budaya baru untuk melihat kembali pelanggaran-pelanggaran HAM masa lalu khususnya di tahun 1965.

Pembicara kedua, Romo Antonius Sumarwan, SJ mempresentasikan tentang “Melibatkan The Silent Majority dalam Penyelesaian Kasus Pelanggaran HAM Berat Masa Lalu”.  Secara akademis, kebenaran sudah terungkap dengan jelas tetapi bagi masyarakat apa yang jelas secara akademis belum bisa ditangkap oleh kebanyakan orang. Tragedi 1965 tidak bisa diselesaikan apabila masyarakat Indonesia masih mengambil posisi the silent majority. Pembaca diharapkan semakin peduli dengan kasus pelanggaran HAM dan bagaimana cara merancang intervensi baru yang dapat diterapkan lebih luas. “Isinya memindahkan fokus dari G30S ke penumpasan PKI (penangkapan, penyiksaan, pembantaian, dan dampak peristiwa 1965)”, ucap Romo Marwan. Terdapat tiga langkah utama membaca cerpen tentang Peristiwa 1965 dengan Perspektif HAM, yaitu 1) membandingkan isi cerpen dengan narasi Orde Baru, 2) mencermati bagaimana cerpen memberikan informasi tentang pelanggaran HAM, dan 3) menjadikan cerpen sebagai bahan kontemplasi tentang peristiwa 1965. Masyarakat yang diberi introduksi tentang HAM akan lebih merindukan dan mendukung rekonsiliasi. Terlebih, sastra dan HAM akan memperluas cakrawala untuk para peserta karena menampilkan apa yang harus terjadi. Romo Marwan berharap bahwa dengan membaca kumpulan cerpen ini menjadi gerakan masyarakat untuk menjadi lebih peduli terhadap penyelesaian kasus pelanggaran HAM.

(MHH & BGP)

  kembali