AKTUALITA

Seminar Terbatas mengenai Hukuman Mati


Dalam rangka Dies Natalis XXXI Fakultas Teologi Universitas Sanata Dharma Yogyakarta-Fakultas Teologi Wedabhakti Yogyakarta, diselenggarakan diskursus tentang pidana mati, Sabtu (31/10) di Ruang Driyarkara Kampus Universitas Sanata Dharma. Tema diskursus ini adalah “Pidana Mati Merupakan Pidana Pokok yang Bersifat Khusus dan Selalu Diancamkan Secara Alternatif (RUU-KUHP Pasal 66). Tepatkah (Masih) Kita Undangkan Pidana Seperti Itu?” Dengan dipandu FX. Endro Susilo S.H., LLM. (Dekan Fak. Hukum Univ. Atma Jaya Yogyakarta) sebagai moderator, acara ini dilaksanakan dalam bentuk Focus Group Discussion yang melibatkan sejumlah pihak. Diskursus ini dihadiri oleh Prof. Nyoman Serikat Putra Jaya (Fak. Hukum Univ. Diponegoro), Ibu Lucia Ratih Kusumadewi (Fak. Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Univ. Indonesia), Prof. Marcus Priyo Gunarto dan Prof. Dr. Edward O. S. Hiareij (Fak. Hukum UGM), Dr. G. Sri Nurhartanto (Rektor Univ. Atma Jaya Yogyakarta), Ibu Albertina Ho (Ketua Pengadilan Negeri Bekasi), Dr. Ahmad Bahief (Fak. Syari’ah dan Hukum Univ. Islam Negeri), dan Dr. A. Andang Listya Binawan, SJ (STF Driyarkara Jakarta), para dosen Fakultas Teologi Universitas Sanata Dharma Yogyakarta-Fakultas Teologi Wedabhakti Yogyakarta serta sejumlah undangan. Dalam diskursus ini disadari bahwa sanksi pidana mati adalah sanksi pidana yang paling kontroversial dan paling menimbulkan perdebatan di kalangan hukum selama berabad-abad. Di Indonesia, sanksi pidana mati merupakan sebuah realitas yuridis yang saat ini masih diberlakukan, dikukuhkan dengan Putusan Mahkamah Konstitusi No. 2-3/PUU-V/2007, serta masih tercantum dalam RUU KUHP 2015 yang diajukan pemerintah kepada DPR pada tanggal 6 Maret 2013, khususnya dalam pasal 66. RUU KUHP 2015 berbeda dengan KUHP sebelumnya, yang menempataan pidana mati dalam satu paket pidana pokok, seperti yang ada dalam pasal 10 KUHP. RUU KUHP 2015 mengeluarkan hukuman mati dari paket pidana pokok dan menjadikannya pidana pokok tersendiri sebagaimana dirumuskan dalam pasal 67 yang selanjutnya dijabarkan dalam pasal 89 – pasal 92.

  1. Pasal 67 RUU KUHP 2015: Pidana mati merupakan pidana pokok yang bersifat khusus dan selalu diancamkan secara alternatif.
  2. Pasal 89 RUU KUHP 2015: Pidana mati secara alternatif dijatuhkan sebagai upaya terakhir untuk mengayomi masyarakat.
  3. Pasal 90 RUU KUHP 2015: (1) pidana mati dapat dilakukan setelah permohonan grasi bagi terpidana ditolak oleh presiden. (2) Pelaksanaan pidana mati sebagaimana dimaksudkan pada ayat 1 tidak dilaksanakan di muka umum. (3) Pidana mati dilaksanakan dengan menembak terpidana sampai mati oleh regu tembak. (4) Pelaksanaan pidana mati terhadap wanita hamil atau orang sakit jiwa ditunda sampai wanita tersebut melahirkan atau orang yang sakit jiwa tersebut sembuh.
  4. Pasal 91 RUU KUHP: pelaksanaan pidana mati dapat ditunda dengan masa percobaan selama 10 (sepuluh) tahun. Jika selama masa percobaan, terpidana menunjukkan pertobatan,  melakukan tindakan yang terpuji, dan masyarakat menerimanya, hukuman mati dapat diubah menjadi pidana seumur hidup atau pidana penjara paling lama 20 tahun. Jika terjadi sebaliknya, maka pidana mati dapat dilaksanakan atas perintah Jaksa Agung.
  5. Pasa 92 RUU KUHP: jika setelah 10 tahun pidana mati tidak dilaksanakan, maka pidana mati dapat diubah menjadi pidana seumur hidup dengan keputusan presiden.
Dengan demikian, RUU KUHP 2015 merupakan “perumusan jalan tengah atau perumusan kompromi” dan dalam penerapannya pun harus hati-hati, tidak serta merta dijatuhkan. Penjatuhan hukuman mati harus selektif dan merupakan upaya terakhir untuk memberikan perlindungan kepada masyarakat luas. Bisa jadi, perumusan RUU KUHP 2015 ini menjadi salah satu titik dalam proses gradual penghapusan hukuman mati pada masa mendatang.  

[Graha L. - Ari W.]  

  Kembali
Lihat Arsip