Kolom

Representasi Peran Keluarga dalam Pembentukan Kepribadian Anak Melalui Film “Anak Lanang”

17-05-2024 10:51:26 WIB 

Sentilan bagi para orang tua berhasil dilakukan oleh empat orang anak laki-laki dalam film pendek berjudul Anak Lanang. Film pendek berdurasi 14 menit 51 detik ini mengisahkan empat orang anak SD yang membahas kehidupan sehari-hari mereka dalam perjalanan pulang menggunakan becak, selepas sekolah. Empat orang anak yang memiliki kepribadian berbeda, duduk dalam satu becak. Kira-kira apa yang terjadi, yang mereka bicarakan, dan lakukan hingga dapat menyentil penonton, khususnya yang telah menjadi orang tua?     

Film pendek yang diproduksi Ravacana Films berkolaborasi dengan Humoria Films ini telah berhasil menyambangi beberapa penghargaan di dunia perfilman dalam negeri bahkan internasional. Anak Lanang yang disutradarai oleh Wahyu Agung Prasetyo, pernah mendapatkan “Honorable Mention” di Panasonic Young Filmmaker tahun 2017 dan menjadi Official Selection di Jogja-NETPAC Asian Film Festival ke-12. Kemudian, pada tahun 2019, Anak Lanang memperoleh “Outstanding Achievement” di Indonesian Film Festival (IFF) Australia ke-14 dalam Short Film Competition, dan menjadi menjadi satu-satunya pemenang yang berasal dari Indonesia dalam Short Film Competition bertema “The Unknown” tersebut. Serta penghargaan Indonesian Short Film Festival SCTV 2019 (Best Film).

Film ini mengambil alur cerita yang sesuai dengan kehidupan sehari-hari pada umumnya, sehingga ringan dan mudah dimengerti oleh penonton. Benar-benar alur yang lekat dan dekat dengan masyarakat pada umumnya. Film ini sukses membuat alur yang singkat, padat, dan pastinya mudah dimengerti. Ditambah dengan bahasa Jawa yang digunakan oleh penutur asli membuat film terasa apa adanya. Penonton dibuat seperti tidak sedang menonton sebuah film, perbincangan para tokoh seakan-akan tidak berdasarkan script cerita karena perbincangannya seakan mengalir begitu saja. Rasanya seperti sedang menyaksikan secara langsung anak SD yang tengah berbincang.

Buah Jatuh Tak Jauh dari Pohonnya

Anak Lanang berhasil merepresentasikan peribahasa tersebut. Beberapa karakter orang tua dalam film digambarkan oleh anak-anaknya melalui perbincangan di atas becak. Karakter orang tua juga turut tergambarkan lewat beberapa kalimat yang diucapkan oleh para tokoh orang tua dalam film.

Orang tua merupakan model utama yang akan ditiru oleh anak. Sepertinya film ini memusatkan pada peran ibu dalam membentuk sifat/watak anak. Danang berbicara dengan suara yang lantang bahkan sering terkesan seperti berteriak, ternyata ibunya juga demikian. Sigit berbicara dengan pembawaan yang tenang serta sifatnya yang penyabar, sepertinya ia dapatkan dari sosok ibunya juga. Begitupula Samsul, ibunya yang sering menonton tv (sinetron), ternyata menjadikan Samsul melihat kejadian di sekitarnya dapat dijadikan konten video YouTube ataupun film.    

Adapun dengan keempat orang anak dalam film ini memiliki kepribadian yang berbeda, film ini berhasil menunjukkan salah satu faktor penyebab hal tersebut adalah perilaku orang tua. Adapula bagian Samsul yang tidak mau memberikan ucapan selamat Hari Ibu pada ibunya karena merasa hal tersebut tak berguna, dikarenakan Samsul memiliki pengalaman diabaikan oleh ibunya ketika mengucapkan itu. Pada bagian ini penonton dapat disadarkan bahwa anak membutuhkan dan menginginkan perhatian dari orang tuanya.

Poligami 

Film ini turut mengangkat isu poligami. Anak Lanang berhasil memperlihatkan dampak yang dialami dan dirasakan oleh anak yang orang tuanya berpoligami. Perbedaan antar saudara tiri pun digambarkan sangat detail. Perbedaan tersebut dapat dilihat dari penampilan antara saudara tri tersebut (Danang dan Yudho). Tampak Yudho yang menggunakan jam tangan, rambutnya yang tersisir rapi dan menggunakan minyak rambut, HP baru, serta di awal film tengah membeli jajan sementara ketiga anak yang lain tidak. Pada intinya penampilan Yudho tidak sebanding dengan Danang. Hal tersebut menunjukkan, poligami tidak menjamin akan adanya perlakuan adil terhadap pihak yang terkait.

Adapula digambarkan Danang yang tidak betah berada di rumah. Biasanya anak yang tidak betah akan pergi bermain ke rumah temannya, hal itulah yang dilakukan Danang. Melalui figuran, kita juga dapat melihat dampak yang dirasakan anak yang orang tuanya berpoligami. Ada figuran keluarga yang terdiri dari ayah ibu dan anak yang berkendara menggunakan satu motor. Terlihat Danang memperhatikan keluarga tersebut dengan tatapan seperti hendak mengisyaratkan pandangan "Wah, enak ya keluarganya harmonis, tidak seperti saya yang jadi anak poligami," benar-benar penggambaran yang sangat detail. 

Petunjuk yang Tak Terduga

Harus saya akui Anak Lanang benar-benar film yang padat, saya rasa setiap detik dalam film ini sama pentingnya, dengan kata lain tidak ada detik yang tidak berisi adegan maupun ucapan penting. Plot twist pada bagian akhir film menyadarkan penonton bahwa ternyata ada beberapa petunjuk yang telah diberikan sebelumnya mengenai plot pada akhir film tersebut.

Siapa yang akan menyangka sebuah poster yang tertempel pada sebuah tiang ternyata merupakan petunjuk. Adapula adegan Danang dan Yudho saling mengejek dengan menggunakan nama orang tua, terlihat seperti pada umumnya, tetapi ternyata ada alasan dibalik ejekan yang mana menggunakan nama ibu tersebut (biasanya anak saling mengejek menggunakan nama bapak). Kemudian ada satu keluarga yang berboncengan menggunakan motor, ternyata ada alasan mengapa keluarga tersebut di-shot secara khusus (gambar difokuskan pada mereka). Menurut saya hal-hal ini merupakan detail yang diperhatikan sutradaranya dengan sangat baik.

Sinematografi yang Menuai Pujian

Proses pengambilan gambar menggunakan teknik one shot di mana tidak ada jeda dalam mengambil gambar. Jadi, apabila ada aktor yang salah script, maka pengambilan gambar harus diulang lagi dari awal. Mayoritas pemain di film ini adalah anak-anak, yang mana cenderung masih sulit memahami arahan dengan cepat, bayangkan betapa sutradara tentu akan kesulitan untuk mengarahkan dan mengondisikan bagaimana anak-anak dapat berakting dengan nyaman dan sesuai dengan ekspektasi dalam satu shot. Diperlukan keuletan, kerjasama, dan tentunya kesabaran yang besar untuk berhasil dalam teknik ini. Dan luar biasanya waktu yang dibutuhkan untuk proses pengambilan gambar hanya sehari di Yogyakarta dengan melibatkan kurang lebih 25 anak-anak. 

Penggunaan teknik one shot ini dapat membuat penonton seolah-olah menjadi bagian dari film dan ikut merasakan emosi yang dialami pemeran utamanya meskipun tidak bisa terlalu sering melakukan close up. Teknik sinematografi ini ternyata justru semakin memberikan kesan perbincangan keempat anak tersebut seakan tidak berlandaskan pada script. Hal ini ternyata membuat film semakin terasa seperti kejadian yang nyata tanpa di-setting­ oleh sutradara. Tak heran film ini menuai banyak pujian. Hal ini juga memperlihatkan pada kita semua bahwa usaha tidak akan mengkhianati hasilnya.

Anak Lanang pada akhirnya tidak hanya mengajarkan saya mengenai keluarga dan isu poligami, film ini juga mengajarkan saya mengenai betapa pentingnya usaha yang kita lakukan untuk mencapai kesuksesan.   

Penulis: Clara Aurora Parayungan

 kembali