USD Akreditasi A English Version Alumni Email USD

Sambutan Rektor

oleh: Johanes Eka Priyatma, M.Sc., Ph.D. Wisuda Periode II TA 2017/2018, Maret 2018


Para Wisudawan, Orang Tua/Wali, Tamu Undangan, Ketua dan Pengurus Yayasan, Anggota Senat serta Ketua Program Studi USD yang berbahagia.

Marilah kita mengucap syukur  kepada Tuhan Yang Maha Kasih karena pada hari ini kita dapat merayakan keberhasilan kita bersama menyelesaikan seluruh proses pendidikan mahasiswa sehingga layak memperoleh predikat sebagai seorang sarjana atau sarjana utama.

Kepada Bapak/Ibu Orangtua/Wali, saya ucapkan ikut berbahagia karena perjuangan dan jerih payah Bapak/Ibu telah membuahkan hasil yang membanggakan. Semoga hari ini menjadi awal kebahagiaan dan kebanggaan sebagai orang tua yang menyaksikan putra-putrinya merajut masa depan dengan penuh semangat dan kepercayaan diri.

Ada yang spesial untuk wisuda kali ini karena dua wakil rektor yakni Bapak Tarsisius Sarkim, PhD selaku wakil bidang akademik dan Romo Robertus In Nugroho Budisantoso, S.J., M.Hum., M.P.P.selaku wakil rektor bidang kemahasiswaan akan segera mengakhiri jabatannya. Kepada Bapak Sarkim dan Romo In saya mohn berdiri untuk menerima tepuk dari kita semua. Terimakasih. Kita pantas mengucap terimakasih karena kerjakeras, dedikasi, dan ketekunan beliau berdua telah turut mengantar para wisudawan merayakan kegembiraan hari ini. Kita berdoa supaya beliau berdua dapat melanjutkan kiprah kontributifnya di tugas yang baru.

Para hadirin yang terhormat,

Pada kesempatan yang penuh bahagia dan bermakna ini, ijinkanlah saya menyampaikan beberapa harapan karena begitu besarnya pengaruh kinerja para alumni terhadap masa depan universitas ini sebagaimana pernah disampaikan oleh Romo Konvelbah, SJ, salah satu pimpinan tertinggi Serikat Yesus. Beliau mengatakan bahwa ‘keberhasilan universitas ditentukan dari menjadi orag seerti apa para alumninya’

Bulan lalu kami dikejutkan oleh kabar bahwa salah satu alumni USD terlibat dalam kegiatan penyebaran berita bohong alias hoaks. Kenyataan tersebut tentu saja kami sesali dan mengusik kami untuk melihat kembali efektifitas kegiatan pendampingan dan pengembangan karakter yang selama ini kami selenggarakan. Berita ini tentu berat kami terima oleh karena pada minggu-minggu tersebut, kami tengah secara serempak bergulat dengan mahasiswa baru angkatan 2017 untuk memahami dan mengaktualisasikan salah satu nilai dasar universitas ini yakni mencintai kebenaran.

Pada saat yang sama kami juga sepenuhnya sadar bahwa persoalan penyebaran hoaks sudah menjadi pergulatan kehidupan bangsa Indonesia sejak 3 tahun terakhir. Eskalasi hoaks memang dipicu oleh kecanggihan teknologi informasi dan komunikasi. Namun demikian, dalam konteks sosial politik dewasa ini, hoaks adalah komoditas yang penyebarannya dapat menjadi salah satu strategi dalam pertukaran wacana memperebutkan pengaruh dan pengikut. Dalam era demokrasi modern yang kita anut ini, hoaks menemukan posisi, relevansi, dan bahkan nilai ekonomisnya. Meskipun Pemerintah telah berusaha keras mengatasi masalah ini misalnya lewat registrasi nomor telepon prabayar supaya lalu lintas informasi lewat smartphone tidak lagi bersifat anonim akan tetapi masih banyak cara lain yang bisa ditempuh.

Rupanya peristiwa tersebut menarik perhatian banyak pihak terutama media massa. Saya dihubungi langsung wartawan baik dari harian cetak maupun online baik di tingkat lokal maupun dari tingkat nasional, seperti harian Kompas. Saya menangkap keheranan para wartawan tersebut yang seolah tidak percaya bahwa alumni USD melakukan tindakan tidak terpuji tersebut. Setelah mendapat informasi cukup, saya mengkonfirmasi berita tersebut dan turut prihatin sekaligus menyampaikan komitmen kami bahwa USD akan bekerja lebih keras lagi dalam mendampingi mahasiswanya.

Para hadirin yang saya hormati.

Harapan masyarakat Indonesia terhadap peran pendidikan sangatlah tinggi tidak terkecuali terhadap perguruan tinggi. Harapan tersebut mencakup hampir semua aspek kehidupan mulai dari ketrampilan, pengetahuan, sikap mental, tingkah laku serta tutur kata seorang lulusan. Lebih daripada itu, tanpa kita sadari institusi pendidikan seolah menjadi obat mujarab sekaligus menjadi sebab dari semua persoalan masyarakat. Oleh karena itu, bila terjadi persoalan di tengah masyarakat, kita cenderung menarik kesimpulan bahwa ada persoalan di institusi pendidikan.

Kita cenderung meyakini sebuah kebenaran relasi matematis berbentuk implikasi sederhana,  jika p maka q di mana p adalah pendidikan  pendidikan dan q kehidupan masyarakat.  Masalahnya, apakah relasi antara pendidikan formal dan kehidupan sosial kita sesederhana, sepasti dan searah seperti itu ?

Atas keyakinan seperti itu, Pemerintah telah mendorong pendidikan anti korupsi karena maraknya tindak korupsi. Banyak juga yang meyakini bahwa pendidikan seksualitas akan mengatasi maraknya pergaulan bebas. Demikian pula ketika kita menemukan sopan-santun  anak muda meluntur lalu kita tergesa menambah pelajaran budi pekerti. Institusi pendidikan selalu kita posisikan sebagai penyebab dari berbagai macam perilaku sosial yang tidak baik.

Kekeliruan epistemologis ini telah menempatkan dunia pendidikan sebagai biang keladi atas perilaku masyarakat yang tidak baik. Kekeliruan ini menghasilkan rumus yang seolah mujarab untuk mengatasi masalah masyarakat. Bila ada sesuatu x yang belum baik di masyarakat maka pasti karena x belum diajarkan dengan baik sehigga solusinya x harus diintensifkan di sekolah lewat kurikulum atau peraturan pemerintah.

Epistemologi seperti itu sebenarnya menyesatkan. Bahwa pendidikan itu maha penting dalam membentuk keluhuran budi  seseorang adalah benar adanya. Akan tetapi menempatkan institusi pendidikan sebagai faktor penentu utama tingkah laku masyarakat tidaklah tepat. Lembaga pendidikan terlalu berat jika harus menanggung beban tanggung jawab seperti itu.

Yang paling menentukan tingkah laku masyarakat adalah sistem-sistem besar yang menjadi bagian dari keseharian hidup masyarakat. Tingkah laku masyarakat pertama-tama ditentukan oleh sistem nilainya, kemudian sistem ekonominya, lalu sistem politiknya dan seterusnya diakibatkan oleh sistem komunikasinya termasuk di dalamnya sistem transportasinya. Dengan kata lain, terlalu kecil sebenarnya peran institusi pendidikan terlibat langsung dalam memengaruhi tingkah laku masyarakat.

Kekeliruan epistemologis ini diperparah oleh kekeliruan asumsi ontologis tentang siapa sesungguhnya seorang anak muda yang sedang tumbuh dan belajar itu. Kekeliruan asumsi ontologis ini  menganggap seorang anak bagai sebuah mesin komputer yang tingkah lakunya dapat sepenuhnya dikendalikan oleh program yang bernama kurikulum. Lebih fatal lagi ketika kita asumsikan bahwa kurikulum pendidikan karakter pada dasarnya sama dengan kurikulum akademis, padahal sejatinya kurikulum pendidikan karakter memuat keunikan dan ketidakpastian yang tinggi karena begitu uniknya tingkah laku setiap manusia.

Manusia adalah makhluk yang sangat cerdas dan bebas bertindak dalam arti bahwa ia sangat fleksibel dan sangat mudah berubah. Oleh karena itu, klaim bahwa seseorang bertindak baik atau buruk karena pendidikan yang ia jalani merupakan kesimpulan yang terlalu gegabah. Terlalu sederhana bila kita menganggap bahwa penyebab tindakan seseorang semata-mata dipengaruhi oleh pendidikannya, lebih-lebih pendidikan yang ia jalani puluhan tahun lampau. Yang benar adalah bahwa tindakan baik/buruk seseorang sangat dipengaruhi oleh tarik-menarik berbagai faktor yang disebabkan oleh berbagai sistem yang beroperasi secara bersamaan.

Relasi antara sekolah dan tingkah laku masyarakat tidaklah berbentuk implikasi sederhana tetapi lebih bersifat bi-implikasi kompleks yakni sekolah dan masyarakat saling memengaruhi secara dinamis. Yang justru dominan adalah bahwa tingkah laku masyarakat sangat memengaruhi kualitas sekolah dan kualitas sekolah mungkin hanya sedikit berpengaruh terhadap masyarakat.

Para hadirin yang saya muliakan…

Ada dua metafora yang serupa tetapi membawa konsekuensi yang jauh berbeda yang dapat kita pakai untuk menggambarkan praktek pendidikan kita. Metafora pertama memandang kegiatan mendidik ibarat membuat patung. Sedang metafora kedua, mendidik itu ibarat menanam pohon.

Memakai metafora pertama, patung menjadi karya yang indah berkat kerja bareng  pematung dengan keahliannya masing-masing. Setiap seniman pematung akan meninggalkan bekas pahatannya. Pahatan itu akan bertahan lama bahkan akan terus membekas selama hidup patung.

Sebagai benda mati, patung tidak akan banyak berubah kecuali rusak oleh berbagai sebab. Lingkungan di mana patung dibuat dan kemudian ditempatkan tidak banyak berpengaruh terhadap bentuk patung. Yang paling menentukan baik dan buruknya patung adalah pemahatnya.  Pemahat campur tangan langsung membentuk patung sebagaimana yang ia imajinasikan atau sesuai desain yang telah sebelumnya disiapkan.

Metafora ini memang tidak sepenuhnya cocok dengan realitas mendidik karena patung yang benda mati tidak sama dengan peserta didik yang hidup. Metafora ini jelas kurang sesuai menggambarkan orientasi pendidikan pada sekolah umum apalagi sekolah dasar dan taman kanak-kanak. Metafora ini juga sangat tidak sesuai menggambarkan orientasi pendidikan karakter. Metafora ini hanya cocok menggambarkan pendidikan vokasi dan profesi. Meskipun demikian, banyak sekali asumsi dan praktek pendidikan umum bahkan pendidikan dasar kita yang diam-diam menganut metafora pembuatan patung ini.

Metafora kedua menggambarkan mendidik bagai menanam pohon. Tugas pendidik bukan pertama-tama membentuk langsung pohon tetapi menciptakan ekosistem yang optimal lewat penyediaan lahan, pupuk, air, dan anti hama dengan takaran yang pas.

Metafora menanam pohon sangat berbeda dengan membuat patung bukan hanya karena apa yang dihasilkan berbeda tetapi sikap dasar yang dianut oleh pematung sangat berbeda dengan penanam pohon. Pemahat mengambil sikap seolah dirinya mempunyai kepastian yang tinggi akan kemampuannya membentuk masa depan patung sebab setiap goresan pahatnya membekas ke dalam patung. Sebaliknya, penanam pohon tidak dapat mengambil sikap dasar seperti pemahat. Sehebat-hebatnya penanam pohon, dia tidak mungkin mengontrol bentuk dan pertumbuhan pohon kecuali ia menanam pohon untuk dikerdilkan alias dibonsai.

Dengan memakai metafora menanam pohon banyak praktek mendidik kita yang harus kita kritisi. Pertama, kurikulum pendidikan dasar dan menengah semestinya tidak kita pahami sebagai sebuah desain rinci seperti rancangan sebuah patung tetapi lebih berupa panduan umum yang terbuka dan peka terhadap berbagai kemungkinan. Kurikulum haruslah mengabdi kepada berbagai potensi dan kelemahan siswa yang masih terus berkembang. Kurikulum memang memengaruhi kualitas lulusan tetapi sebenarnya banyak sekali faktor lain yang turut berpengaruh baik berasal dari lingkungan sekolah, keluarga, maupun masyarakat.

Kedua, sistem evaluasi belajar seharusnya bersifat otentik, variatif, dan kreatif. Dalam tingkat tertentu sebenarnya ujian tulis tidak perlu untuk semua matapelajaran karena observasi langsung keseharian siswa di sekolah sudah memberikan data yang kaya akan keberhasilan belajar. Penanam pohon yang baik akan otomatis tahu apakah tanamannya tumbuh subur dan sehat dengan cukup melihatnya dan tidak perlu menggoresnya untuk mengetahui kualitas getah dan kulitnya.

Ketiga, metafora menanam pohon membawa konsekuensi mendasar dalam program pengembangan guru. Pelatihan guru sering berangkat dari metafora membuat patung karena orientasinya adalah ‘Bagaimana guru mengajar dengan optimal’. Sedang dalam metafora menanam, pokok perkaranya adalah  ‘Bagaimana siswa belajar dengan optimal ?’ Pembelajaran yang berpusat pada siswa hanya mungkin dikembangkan bila sekolah dan guru memakai metafora menanam. Konsekuensinya dalam program pengembangan guru, pembicaraan tentang diri dan situasi siswa harus memadai dan serius.

Keempat, klaim (claim) guru, sekolah, dan masyarakat terhadap keberhasilan atau kegagalan siswa sering berlebihan dan tidak masuk akal. Kita dengan mudah menarik kesimpulan bahwa keberhasilan seorang lulusan pertama-tama karena pendidikan yang ia jalani di sekolah puluhan tahun sebelumnya. Klaim ini menafikan realitas pertumbuhan dan besarnya pengaruh lingkungan hidup lulusan. Klaim seperti ini menyesatkan karena berangkat dari metafora membuat patung di mana patung tidak tumbuh dan berkembang atas kehendaknya sendiri. Akibatnya, setiap muncul persoalan di masyarakat misalnya korupsi, sekolah dianggap biang keladinya dan untuk itu kurikulum perlu ditambah materi anti korupsi.

Saya yakin Ki Hajar Dewantoro memakai metafora menanam ini dalam mengembangkan pendidikan nasional. Oleh karenanya beliau membayangkan mendidik bagai merawat taman sebagaimana tampak dalam sebutan taman siswa, taman dewasa dan taman madya untuk menamai jenjang pendidikan dasar, menengah pertama, dan menengah atas. Kita akan merugi bila dasar-dasar pemikiran beliau tidak kita rawat dan kembangkan.

Para hadirin semua,

Menyadari tidak sederhananya relasi antara sekolah dan masyarakat serta antara institusi pendidikan dan alumninya, maka memahami peran alumni bagi masyarakat serta reputasi almamaternya sungguh pelik. Kami dalam taraf tertentu tidak mungkin lagi mempunyai kapasitas, legalitas,  dan kemampuan dalam menentukan apa yang sebaiknya dilakukan alumni di tengah masyarakat. Meskipun demikian, kami juga sadar sepenuhnya bahwa kiprah alumni, yang baik maupun yang buruk, akan selalu berpengaruh terhadap reputasi USD di tengah masyarakat.

Kesadaran ini untuk sekian kalinya menyadarkan kita semua betapa besarnya tantangan pendidikan dewasa ini. Mendampingi mahasiswa supaya tidak hanya kompeten secara akademik tetapi juga mempunyai kesadaran yang tinggi akan tanggug-jawab sosialnya, serta kerelaannya untuk berkontribusi kepada sesama menuntut kami bekerja lebih keras dan cerdas dalam penyelenggaraan pendidikan di USD.

Dalam kesempatan yang berharga ini, kami sekali lagi mengajak para alumni untuk semakin menyadari betapa besarnya pengaruh kiprah alumni terhadap reputasi dan nama baik Sanata Dharma. Untuk itu kami sangat berharap bahwa nilai-nilai dasar yang telah menjadi semangat dan praktek hidup para alumni selama ini di kampus supaya tetap menjadi panduan dan semangat dalam seluruh kiprah alumni di tengah masyarakat.

Mencintai kebenaran, memperjuangkan keadilan, menghargai keberagaman, dan menjunjung tinggi keluhuran maratabat manusia adalah 4 nilai dasar yang kami harapkan tidak hanya untuk diingat tetapi menjadi semangat yang mewujud dalam karya bakti alumni Universitas Sanata Dharma di manapun berada. Semoga Tuhan memberkati Anda semua.

Terimakasih.

  kembali