LAYANAN KAMI

TESTING

Menyediakan layanan psikotes untuk berbagai jenis instansi dengan beragam tujuan, antara lain:

  • Perusahaan: seleksi, promosi, pengangkatan pegawai tetap, dsb;
  • Pendidikan: penerimaan siswa baru, penjurusan, pengarahan jurusan kuliah, minat & bakat, kepribadian, dsb;
  • Tes klasikal dan individual;
  • Pengetesan di dalam dan luar DIY.

Klik untuk daftar psikotes.

KONSELING

Layanan bagi Anda yang membutuhkan bantuan dalam menyelesaikan permasalahan maupun memerlukan konsultasi psikologis, antara lain:

  • Konseling: bantuan untuk meningkatkan kemampuan pemecahan masalah;
  • Asesmen: penggalian kebutuhan psikologis dengan alat tes psikologi;
  • Konsultasi: pertukaran pikiran untuk mendapatkan solusi.

Klik untuk daftar konseling.

TRAINING

Kami melayani berbagai jenis training untuk pelatihan dan pengembangan bagi sekolah, organisasi, perusahaan, instansi pemerintahan, dan universitas. Jenis team building, fun games, seminar, workshop, motivation training, dan lain sebagainya.

P2TKP memberikan fasilitas seperti psikotes, konseling, merchandise, modul training, P3K, outbond, sertifikat, dokumentasi, hingga asuransi yang dapat didiskusikan bersama.

Klik untuk daftar training.

ULASAN, ARTIKEL, RENUNGAN

Hati-Hati Jadi Bebek! Kenali Lebih Lanjut tentang Kondisi Duck Syndrome

Apakah kalian pernah bertemu dengan seseorang yang selalu terlihat senang atau baik-baik saja, padahal sebenarnya mereka sedang mengalami kesulitan? Atau justru kalian pernah berperilaku seperti ini? Saat ini, khususnya di media sosial, orang-orang sering kali membagikan momen-momen bahagianya, tetapi pernahkah kalian berpikir mengenai kesulitan yang mungkin saja sedang mereka hadapi? Kenapa orang bisa bersikap tenang dan baik-baik saja, atau bahkan bersikap bahagia, padahal sebenarnya mereka sedang berusaha keras untuk mengatasi masalah-masalah yang mereka miliki? Situasi seperti ini biasa dikenal sebagai Duck Syndrome. Duck syndrome merupakan suatu situasi di mana seorang individu menunjukkan perilaku tenang kepada dunia luar, padahal sebenarnya individu tersebut sedang merasakan kecemasan (Dewi, 2021). Istilah duck syndrome ini menganalogikan bebek yang sedang berenang, terlihat tenang, padahal kenyataannya bebek tersebut sedang bekerja keras untuk tetap mengapung. Istilah duck syndrome sendiri pertama kali muncul di Stanford University untuk menggambarkan kondisi mahasiswa di sana (Moore, 2022).  Duck syndrome dapat terjadi karena berbagai hal, salah satunya adalah tekanan dalam perkuliahan. Perkuliahan menjadi salah satu faktor khusus penyebab duck syndrome karena masalah-masalah yang dihadapi oleh mahasiswa dalam perkuliahan sangat beragam dan terkadang masalah itu dapat menimbulkan perasaan tertekan, stres, hingga menimbulkan kecemasan. Selain itu, media sosial juga dapat menjadi salah satu faktor risiko terjadinya duck syndrome. Hal ini juga sering kali terjadi dalam media sosial, di mana semua orang hanya membagikan momen-momen kebahagiaan atau kesuksesan dari sebuah perjuangan. Media sosial membuat tekanan-tekanan tersendiri karena orang akan mengamati momen keberhasilan dari teman atau rekan-rekan mereka, tetapi sering kali mereka jarang melihat usaha-usaha atau kegagalan yang dialami oleh orang lain (Akcay & Ohashi, 2021).  Faktor risiko lain yang dapat menyebabkan duck syndrome adalah keluarga. Keluarga atau khususnya orang tua yang memberikan tuntutan kepada anak, terlalu protektif, dan terlalu menuntut kesempurnaan dapat membuat anak atau individu merasakan tekanan tersendiri sehingga akhirnya dapat memicu duck syndrome. Selain itu, faktor-faktor emosional juga dapat menjadi faktor risiko yang menyebabkan duck syndrome muncul.  Duck syndrome bukan merupakan gangguan yang resmi tertulis dalam DSM V sebagai gejala formal atau resmi. Akan tetapi, beberapa orang yang mengalami duck syndrome memiliki beberapa kesamaan, seperti sering membandingkan diri dengan orang lain, merasa bahwa orang lain jauh lebih baik daripada dirinya, dan memiliki ketakutan terhadap kritik. Tanda lainnya adalah individu merasa bahwa dirinya seakan-akan gagal dalam memenuhi tuntutan hidup dan merasa bahwa orang lain sedang merancang suatu situasi untuk menguji atau menilai bagaimana kinerja dirinya. Meskipun duck syndrome bukan merupakan gangguan yang resmi tertulis dalam DSM V, sindrom ini dapat memicu masalah-masalah kesehatan mental lainnya, seperti depresi atau kecemasan.  Lantas, bagaimana cara mengatasi duck syndrome? Duck syndrome dapat diatasi dengan melakukan self-care seperti, melakukan mindfulness, membuat batasan, dan mempelajari keterampilan manajemen waktu. Individu yang mengalami duck syndrome juga dapat mencoba untuk mengubah pola pikirnya menjadi lebih positif. Komunikasi secara asertif dengan orang-orang terdekat juga dapat dilakukan untuk mengurangi kecemasan atau ketakutan yang timbul, seperti melakukan komunikasi secara terbuka mengenai kecemasan dengan orang-orang terdekat. Namun, apabila duck syndrome yang dimiliki sudah membuat seorang individu memiliki kecemasan yang lebih lanjut atau bahkan depresi, maka psikoterapi bisa menjadi salah satu cara untuk mengatasi hal ini (Moore, 2022).  Untuk menjaga kesehatan mental dan mencegah duck syndrome terjadi, individu dapat mencoba untuk mengatur ulang strategi manajemen waktu, mencoba untuk melakukan kegiatan yang menyenangkan sehingga stres dapat dikendalikan, dan tetap menjaga kesehatan tubuh karena kesehatan tubuh dapat berkontribusi pada kesehatan mental seseorang (BetterHelp Editorial Team, 2023). Selain itu, usaha memberikan afirmasi positif pada diri sendiri juga dapat membantu individu untuk mengurangi stres, meningkatkan kesejahteraan, dan meningkatkan kinerja akademis (BetterHelp Editorial Team, 2023).  Jadi, dapat disimpulkan bahwa duck syndrome merupakan keadaan ketika seseorang menampilkan perilaku tenang, padahal sebenarnya dia sedang menyembunyikan kecemasan atau tekanan-tekanan yang ia miliki. Duck syndrome terjadi karena adanya tekanan-tekanan dari dunia sosial, yang dapat diperparah melalui paparan terhadap media sosial. Setiap orang memiliki masalah dan tekanannya masing-masing. Kesuksesan-kesuksesan yang orang tunjukkan dalam media sosial tidak bersifat instan dan banyak kegagalan di balik itu. Lihatlah secara lebih luas lagi dan jangan lupa untuk beristirahat dan mengapresiasi diri sendiri dengan lebih sering lagi!   Penulis Angelica Vania Aruna Nismara / Mahasiswa Fakultas Psikologi Universitas Sanata Dharma Angkatan 2021 Penyunting 1. Bernadeta Karisma Putri / Asisten P2TKP Angkatan 2022 2. Maria Putri Dwi Astuti / Asisten P2TKP Angkatan 2023 Daftar Acuan Akcay, E., & Ohashi, R. (2023, 4 Agustus). The floating duck syndrome: biased social learning leads to effort-reward imbalances. Retrieved 13 November, 2023, from https://doi.org/10.31235/osf.io/qx7ku. BetterHelp Editorial Team. (2023, 7 November). What is duck syndrome & are you suffering from it? BetterHelp. Retrieved 13 November, 2023, from https://www.betterhelp.com/advice/stress/what-is-duck-syndrome-are-you-suffering-from-it. Dewi, R. Z. (2021). Komunikasi asertif pada mahasiswa duck syndrome di Mojokerto. Pawitra Komunika: Jurnal Komunikasi dan Sosial Humaniora, 2(2), 168-179. Dryden-Edwards, R. (n.d.). Duck Syndrome: Meaning, Psychology, Symptoms & Definition. MedicineNet. Retrieved 13 November, 2023, from https://www.medicinenet.com/duck_syndrome/article.htm. Isnaini, A. I. N. (2022, 7 Februari). Mengenal Duck Syndrome: Terlihat Tenang Meski Sebenarnya Tertekan. Satu Persen. Retrieved 13 November, 2023, from  https://satupersen.net/blog/mengenal-duck-syndrome. Moore, M. (2022, 20 Mei). What is duck syndrome? Psych Central. Retrieved 13 November, 2023, from https://psychcentral.com/blog/teens-the-duck-syndrome#how-to-manage. Sumber Gambar Bianco, G., IV. (2019, April 30). white duck in a body of water during daytime. Unsplash. https://unsplash.com/photos/white-duck-in-a-body-of-water-during-daytime-K8lVYS_u0UE.

Belajar, Langkah demi Langkah

“Hidup adalah tentang belajar. Jika kamu berhenti, maka kamu mati.“ Pernahkah kalian mendengar kalimat di atas sebelumnya? Sebuah kalimat singkat yang mencerminkan sebuah makna yang sangat dalam. Kalimat tersebut seringkali digunakan sebagai motivasi untuk anak-anak atau siswa yang sedang menempuh ujian sekolah. Kalimat tersebut juga sering kali digunakan untuk pelatihan-pelatihan kepemimpinan dan kedisiplinan dalam konteks sekolah dan institusi pendidikan lainnya. Pada kenyataannya, kalimat ini hanya digunakan sebagai quotes yang dipajang diatas tembok lorong sekolah, kelas ataupun ruang belajar lainnya. Namun, pernahkan kalian memahami dan menerapkan makna dibalik kalimat tersebut secara mendalam?  Belajar. Apa yang pertama kali muncul dalam benak kalian ketika mendengar kata belajar? Biasanya kita akan langsung membayangkan rumus-rumus matematika dan fisika, sejarah dunia, hafalan undang-undang, perang dunia satu dengan lainnya, serta teori ini dan itu. Tidak jarang banyak orang yang merasa pusing hanya dengan mendengar kata “belajar” karena sudah membangun pondasi bahwa belajar adalah hal yang membosankan dan berat untuk dilakukan. Namun, ternyata belajar memiliki jangkauan yang jauh lebih luas dan prosesnya dapat dilakukan dengan berbagai macam cara. Hal yang perlu kita lakukan adalah mencari cara yang membuat kita dapat lebih menikmati proses dalam belajar. Menurut KBBI, belajar memiliki definisi berusaha memperoleh kepandaian atau ilmu; berlatih; berubah tingkah laku atau tanggapan yang disebabkan oleh pengalaman (Depdiknas, 2008). Sedangkan menurut Kamus American Psychological Association, belajar merupakan perolehan informasi, perilaku, atau kemampuan baru setelah latihan, observasi, atau pengalaman lain, yang dibuktikan dengan perubahan perilaku, pengetahuan, atau fungsi otak. Belajar juga dapat diartikan sebagai peningkatan kemampuan pemecahan masalah melalui pengalaman (Washburne, J. N.,1936). Dalam mendefinisikan kata belajar, tidak ada satupun yang dapat menyebutkan dan menjelaskan batas jangkauan dalam belajar. Bahkan dalam masa perkembangan dan pertumbuhan kita sebagai manusia, kita pun mempelajari hal-hal yang ada pada saat ini secara tidak sadar kita lakukan. Tidak perlu terlalu jauh kita berpikir akan pertanyaan “mengapa bintang bersinar?” atau “mengapa air mengalir?” Pernahkah kalian berpikir bagaimana cara berjalan? Atau bagaimana cara duduk pada sebuah kursi? Benar, semua hal ini kita pelajari jauh pada saat kita masih kecil.  Melihat kembali melalui pengalaman pribadi, saya mengingat bagaimana saya memegang kalimat “Hidup adalah tentang belajar. Jika kamu berhenti, maka kamu mati“ pada setiap langkah demi langkah yang saya ambil dalam hidup saya. Bagaimana saya belajar menemukan hal-hal baru selama dunia terus berjalan. Terkadang, saya kehilangan minat saya dalam belajar hal baru yang dirasa cukup rumit dan ingin mengambil langkah lain untuk belajar, seperti bagaimana “mengambil nafas” dengan cara yang membuat saya lebih nyaman untuk melanjutkan langkah. Hal-hal kecil yang kita pelajari dalam kehidupan sangatlah berharga untuk kehidupan kita selanjutnya.  Sebagai gambaran sederhana, ketika mendaki sebuah gunung, rintangan demi rintangan kita hadapi dan tidak jarang kita akan terjatuh saat mengambil beberapa langkah. Namun, ketika melihat kebawah barulah kita akan sadar bagaimana rintangan-rintangan tersebut telah berhasil kita lewati dan betapa indahnya sebuah pencapaian yang kita dapatkan. Tidak jarang kita memiliki tuntutan untuk belajar hal-hal yang kita rasa kurang kita minati, hal yang terpenting adalah bagaimana kita berusaha dan mencari langkah atau proses seperti apa yang dapat membuat kita terus melangkah dan tidak berhenti berjalan. Belajar adalah pondasi yang perlahan-lahan semakin kuat sehingga kita dapat menghasilkan karya, berjuang dan terus hidup. Jadi, tunggu apa lagi?  Apa langkahmu selanjutnya?   Penulis 1. Lira Vania Ramadiva (Asisten P2TKP Angkatan 2023) Penyunting 1. Ariolietha Joanna Kintanayu  (Asisten P2TKP Angkatan 2023) 2. Maria Putri Dwi Astuti (Asisten P2TKP Angkatan 2023) Daftar Acuan Washburne, J. N. (1936). The definition of learning. Journal of Educational Psychology, 27(8), 603–611. https://doi.org/10.1037/h0060154. American Psychological Association. (nd). learning. Dalam kamus psikologi APA. Diakses pada 13 November 2023, dari https://dictionary.apa.org/learning. Sumber Gambar Dokumen Pribadi Fotografer: Lira Vania Ramadiva Editor: Lira Vania Ramadiva

Mengasuh Anak dengan Disiplin Positif

Perkembangan zaman menjadi salah satu tantangan yang harus dihadapi oleh orang tua dalam mengasuh anak, terutama bagi mereka yang memiliki anak berusia sekitar 4-6 tahun. Bagaimana tidak, perkembangan zaman membuat orang tua perlu mendidik anak menjadi pribadi yang percaya diri, mandiri, dan bertanggung jawab. Kemampuan tersebut dibutuhkan bagi anak sebagai bekal untuk menghadapi kehidupan mereka di masa yang akan datang. Tidak hanya itu, orang tua juga menghadapi tantangan lain dalam mengasuh anak, misalnya semakin sulit mencari asisten rumah tangga (ART) yang dapat dipercaya sehingga orang tua memilih untuk tidak menggunakan jasa ART. Hal tersebut membuat orang tua perlu melakukan banyak pekerjaan (seperti pekerjaan rumah tangga atau pekerjaan profesional) sambil mengasuh dan mendidik anak. Latar belakang tersebutlah yang menjadi perhatian PAUD Wonderbreed Montessori untuk mengajak orang tua siswa mempelajari ilmu parenting demi terciptanya pola asuh yang tepat. Harapannya, ilmu parenting yang diberikan dapat mewujudkan pola asuh yang sinkron antara yang dilakukan guru di sekolah dengan orang tua di rumah. Dengan penghayatannya terhadap filosofi pendidikan Montessori, PAUD Wonderbreed Montessori mempercayai Pusat Pelayanan Tes dan Konsultasi Psikologi (P2TKP) untuk mengadakan workshop dengan tema “Penerapan Step by Step Teknik Disiplin Positif”. Sebenarnya sudah banyak yang membahas topik disiplin positif pada anak di internet. Secara teori, orang tua siswa dapat memahaminya. Namun, yang menjadi masalah adalah praktik yang tidak seindah teori. Workshop Penerapan Step by Step Teknik Disiplin Positif dilaksanakan pada tanggal 21 Oktober 2023 di Ruang Koendjono, Kampus II, Universitas Sanata Dharma. Kegiatan ini dihadiri oleh sekitar 20 orang tua dan 18 guru/staf yang juga membantu untuk menjaga anak yang turut hadir dalam workshop. Tim P2TKP yang hadir berjumlah 5 orang sebagai fasilitator dan didampingi oleh 1 orang trainer atau pembicara. Workshop ini diawali dengan pembukaan oleh seorang moderator yang juga berperan sebagai fasilitator. Kemudian, dilanjutkan dengan ice breaking yang dibawakan oleh seluruh fasilitator dengan satu orang pemimpin. Di sini, orang tua diajak untuk bergerak bersama sambil bernyanyi. Setelah itu, kegiatan dilanjutkan dengan pemaparan materi dari trainer. Pada sesi yang pertama ini, trainer menyampaikan pengertian dan prinsip-prinsip menerapkan disiplin positif. Trainer menyampaikan materi dengan cara yang cukup interaktif, yakni dengan memberikan tiga buah lembar kerja yang perlu diisi oleh orang tua. Lembar kerja ini berfungsi sebagai media refleksi untuk menyesuaikan pola asuh yang sudah dilakukannya selama ini dengan disiplin positif. Orang tua tampak serius memperhatikan trainer. Setelah waktu istirahat selesai, fasilitator membawakan energizer untuk membangun kembali konsentrasi para peserta. Energizer yang digunakan adalah permainan “saya bilang pegang ….” Bila ada instruksi “saya bilang pegang”, berarti peserta harus memegang benda tersebut. Namun, apabila tidak ada instruksi “saya bilang pegang”, berarti peserta tidak boleh memegang benda yang diinstruksikan. Setelah dirasa orang tua konsentrasi kembali, sesi dua dimulai. Pada sesi ini, trainer menunjukkan cara atau langkah yang bisa dilakukan untuk menerapkan teknik disiplin positif secara detail. Lalu, trainer memberikan beberapa topik diskusi kelompok untuk membahas sikap dan reaksi dari orang tua yang sesuai dengan prinsip disiplin positif saat menghadapi perilaku menantang anak yang sering membuat orang tua kebingungan, seperti anak yang tidak mau makan makanan sehat, anak yang tidak mau sekolah, anak yang mengganggu teman/saudaranya, dll. Orang tua diajak untuk mencermati situasi ini kemudian menjelaskan bagaimana menerapkan disiplin positif pada anak sesuai yang sudah disampaikan sebelumnya. Kegiatan ini dilakukan dengan membentuk 6 kelompok (4 kelompok untuk orang tua dan 2 kelompok untuk guru/staf). Setelah selesai, salah satu perwakilannya diminta untuk menyampaikan hasil diskusi mereka satu per satu, kemudian dibahas bersama-sama oleh trainer. Tampak bahwa orang tua cukup antusias dengan kegiatan ini karena beberapa dari mereka juga ada yang bertanya lebih lanjut kepada trainer. Dari kegiatan berkelompok ini, trainer juga menambahkan bahwa untuk dapat menerapkan disiplin positif pada anak, perlu adanya support system yang visi dan misi nya sejalan, yang dalam hal ini adalah antara ayah dan ibu. Selain itu, menerapkan teknik disiplin positif pun membutuhkan waktu, maka perbanyak “stok” sabar. Workshop diakhiri dengan foto bersama dan pengisian link evaluasi. Berdasarkan evaluasi tersebut, hampir semua orang tua merasa bahwa kegiatan ini memberikan insight baru yang dapat mereka terapkan di rumah. Mereka juga merasa bahwa materi yang disampaikan mudah dipahami dan relate dengan kehidupan sehari-hari sebagai orang tua. Selain itu, dengan adanya kegiatan kelompok, mereka juga merasa semakin mendapat gambaran tentang apa dan bagaimana menerapkan disiplin positif. Pemahaman mereka pun semakin mendalam terhadap informasi yang sudah mereka baca di internet. Dengan demikian, peserta merasa puas dengan workshop ini karena mendapatkan ilmu dan informasi terkait parenting yang dapat diterapkan untuk mendidik anak. Namun, terdapat sedikit masukan kepada tim P2TKP bahwa sebaiknya workshop dapat dilaksanakan dengan lebih on time.   Penulis Khrisentia Aurelia Natasya (Asisten P2TKP Angkatan 2022) Penyunting Maria Putri Dwi Astuti (Asisten P2TKP Angkatan 2023) Sumber Gambar Dokumentasi Tim Wonderbreed Montessori

KLIEN KAMI