"Healing Earth: Bela Rasa untuk Merawat Bumi demi Kebaikan Bersama” Bumi menjadi rumah kita. Perannya adalah seperti seorang ibu yang mau berbagi hidup dan merangkul kita, anak-anak manusia, dengan tangan terbuka. Allah sendiri telah mempercayakan ibu bumi kepada anak-anak manusia, Sayangnya, ibu kita itu sekarang ini merasa menderita dan sakit. Tragisnya, semuanya itu diakibatkan oleh sejumlah ulah dari anak-anak manusia itu sendiri. Eksploitasi, konsumerisme ekstrem dan selektif dari sebagian orang adalah beberapa contoh yang dapat disebut di sini. Sakitnya ibu bumi tampak jelas dari hal-hal negatif yang kita jumpai dalam kaitannya dengan ketidakteraturan iklim, pencemaran air, kepunahan keragaman hayati, keterbatasan makanan, ketidakeseimbangan kepadatan penduduk, kerusakan sumber alam dan mineral, dst. Sakitnya ibu bumi itu sendiri berkaitan erat dengan kemerosotan perilaku anak manusia dan masyarakat. Bencana pun mengancam; dan dampaknya pertama-tama dialami oleh pihak yang paling lemah di bumi. Hubungan antara kerusakan alam dan ketidakadilan, kesengsaraan serta kemiskinan dalam masyarakat tidak dapat disangkal lagi. Dalam ensiklik Laudato Si’ (art. 48), dikatakan dengan jelas: “Baik pengalaman hidup sehari-hari maupun penelitian ilmiah menunjukkan bahwa efek paling parah dari semua perusakan lingkungan diderita oleh kaum miskin” [Bdk. Konferensi Waligereja Bolivia, Surat Pastoral tentang Lingkungan dan Pengembangan Manusia di Bolivia “El universo, don de Dios para la vida (Alam Semesta, Anugerah Allah untuk Hidup)” 23 Maret 2012), 17]. Karena itu, suatu perubahan cara bertindak perlu untuk diwujudkan. Di sini, pertobatan ekologis global bersifat mutlak dan tidak dapat ditawar-tawar lagi. Pendekatan ekologis yang sejati itu sendiri harus mewujud dalam pendekatan sosial yang menyangkut keadilan. Bagaimanapun prinsip-prinsip etis yang disertai dengan garis kebijakan dan tindakan-tindakan konret demi kebaikan umum (bonum commune) dalam bingkai spiritualitas ekologis menjadi sesuatu yang penting. Itu dapat ditempuh melalui refleksi kritis, dan aksi-aksi nyata yang melibatkan seluruh elemen masyarakat. Dan jelas ini tak dapat dilakukan sendiri-sendiri. Gerakan perlu dilakukan dengan melibatkan semua pihak di level global-internasional dan lokal-nasional dalam semangat dialog kemanusiaan antar dan inter generasi. Berikut adalah pernyataan Laudato Si’ (art. 162): ‘Oleh karena itu, “selain solidaritas yang adil antargenerasi, perlu ditegaskan kembali kewajiban moral yang mendesak untuk membaharui solidaritas intra-generasi”.’ [Bdk. Benediktus XVI, Pesan untuk Hari Perdamaian Dunia 2010, No 8: AAS 102 (2010), 45.] Dalam lingkup global, kita mendengar usaha-usaha yang dicanangkan oleh kelompok negara yang menamakan diri G20. Dalam pertemuan terakhir di Hamburg, Jerman, pada bulan Juli 2017 lalu, misalnya, di samping menyerukan untuk bersatu dalam menangani ancaman terorisme lewat kerjasama di bidang intelejen dan ketegasan dalam pengawasan atas alur pendanaan kepada kelompok radikal dan teroris, G20 juga mengangkat tantangan yang terkait dengan perubahan iklim. Kesepakatan tersebut merupakan tindak lanjut dari apa yang telah ditetapkan dalam KTT Perubahan Iklim di Paris pada akhir tahun 2015, yaitu komitmen untuk menjaga kenaikan suhu bumi agar ‘jauh di bawah dua derajat’, mengingat dewasa ini suhu bumi sudah mencapai sekitar satu derajat lebih tinggi dibandingkan pada era sebelum perkembangan industri. Dalam lingkup lokal, Indonesia sebagai anggota G20 juga membuat berbagai langkah antisipatif terhadap perubahan iklim, antara lain dengan memperpanjang moratorium pembukaan lahan baru, membentuk Badan Restorasi Gambut guna memperbaiki dua juta hektar gambut dalam lima tahun, dan memperkuat upaya pengatasan kebakaran hutan serta lahan. “Indonesia pun bergerak ke arah pengurangan sampah dengan reduce-reuse-recycle sebesar 30 persen pada tahun 2025 dan menetapkan target pengurangan sampah plastik laut (marine plastic debris) sebesar 70 persen hingga tahun 2025,” kata Presiden Joko Widodo. Bagaimana dengan lingkup hidup sehari-hari kita? Kita tidak boleh ketinggalan kereta untuk menanggapi tantangan aktual ini. Kita yang tinggal dan belajar serta berkarya dalam lingkungan universitas, fakultas, konvik dan rumah pun perlu membangun cara bertindak ekologis yang berdampak positif bagi kepentingan banyak pihak di sekitar kita. Pertanyaan dasar yang menantang kita bersama adalah sbb.: “Bumi seperti apa yang mau kita hidupi di masa sekarang dan yang akan kita wariskan kepada generasi mendatang?” Pertanyaan dasar tersebut pada gilirannya akan mengantar kita pada pertanyaan-pertanyaan eksistensial lain: “Manakah sebenarnya arah hidup kita di bumi ini, dan makna macam apakah yang hendak kita bangun lewat karya kita di bumi ini bagi Allah dan sesama kita?” Jelas kiranya, bahwa pertanyaan-pertanyaan yang terkait dengan alam semesta dan lingkungan hidup menyentuh pula aspek iman. Telaah dari perspektif lintas ilmu dalam kerjasama dengan filsafat dan teologi serta proyek-proyek konkret tidak dapat tidak menanti untuk kita realisasikan. Jadwal EC di semester genap ini disusun sebagai berikut:
No |
Tanggal |
Topik |
Pengampu |
1 |
15 Feb 2018 |
Ekaristi dan Pembaharuan Dunia Menurut John D. Zizioulas | Dr. Yohanes Subali, Pr. |
2 |
22 Feb 2018 |
Environmental Ethics and Christian Theology | Dr. CB. Kusmaryanto, SCJ. |
3 |
01 Mar 2018 |
Ekomisiologis menurut Mick Pope | Dr. Fl. Hasto Rosariyanto, SJ. |
4 |
08 Mar 2018 |
Tanggungjawab Sosial Perusahaan (Etika) dan Masalah Lingkungan. | Dr. J. Haryatmoko, SJ. |
5 |
15 Mar 2018 |
Roh Kudus Sebagai Roh Pencipta dan Tanggungjawab akan Keutuhan Cipta | Dr. Matheus Purwatma, Pr. |
6 |
22 Mar 2018 |
Permenungan Sampah: “Yang Terbuang“ dalam Refleksi Teologis-Etis | Dr. D. Bismoko Mahamboro, Pr. |
7 |
05 Apr 2018 |
Teologi Moral dan Ekofeminisme | Dr. Mateus Mali, CSsR. |
8 |
12 Apr 2018 |
Teilhard de Chardijn: Memandang Allah dari Pesona Alam Semesta | Dr. T. Krispurwana Cahyadi, SJ. |
9 |
19 Apr 2018 |
Mencintai Lingkungan Hidup dalam Perspektif Perjanjian Lama | Dr. V. Indra Sanjaya, Pr. |
10 |
26 Apr 2018 |
Bisnis yang menguntungkan, ramah lingkungan, dan ramah secara sosial | Dr. Titus Odong Kusumajati, M.A. |
11 |
03 Mei 2018 |
[Tema Menyusul] | Dr. St. Gitowiratmo, Pr. & Rm. Maryono Pr. |
12 |
17 Mei 2018 |
Mazmur-mazmur Ekologis | Dr. St. Eko Riyadi, Pr. |
13 |
24 Mei 2018 |
Petani Tersalib dan Allah Nasi: Teologi Pembebasan Ekologis dalam Narasi Hwa-Young Chong dan Masao Takenaka. | Dr. Mutiara Andalas, SJ. |
14 |
31 Mei 2018 |
Polemik Ibn Rush, Ghazali dan Aquinas soal keabadian alam | Dr. YB. Heru Prakosa, SJ. |
15 |
07 Jun 2018 |
Dari Pengetahuan ke Pengalaman: Spiritualitas Kosmis Thomas Merton | Alb. Bagus Laksana, SJ. Ph.D. |