AKTUALITA

Mengenal Sumatra Melalui Tradisi Gereja dan Budaya


Selasa (17/05) Fakultas Teologi Universitas Sanata Dharma mengadakan rangkaian seminar bulanan. Bulan ini tema yang diangkat adalah “Iman dan Budaya: Gereja dan Kultur Sumatera”. Seminar ini dimoderatori oleh Rm. Purwanto, SCJ. Pembicara yang diundang adalah Pdt. Prof. Jan S. Aritonang (Sekolah Tinggi Teologi Jakarta), Ibu Veronika Gunarti (Sekretaris Yayasan Gentiaras, Bandar lampung), dan Rm. Aloysius Yudhistira Adi Fitri, Lic., SCJ (Pemerhati gereja lokal).  Pembicara menyampaikan makalahnya berdasarkan daerah yang berbeda-beda, yakni: Batak, Lampung, dan Tanjungkarang. Semuanya mempunyai kekhasan dan keunikan masing-masing.
            Pdt. Prof. Jan S. Aritonang menggambarkan kondisi Gereja di salah satu suku Indonesia yakni suku Batak. Orang Batak sama seperti banyak suku lain di dunia, memahami budaya sama dengan adat. Sistem adat Batak dibangun berdasarkan hubungan antar tiga kelompok, yang disebut Dalihan Na Tolu: dongan sabutuha (teman semarga), hula-hula (pihak/ marga pemberi isteri), dan Boru (pihak/ marga penerima isteri). Batak memahami bahwa hula-hula pertama adalah Sang Pencipta (Debata Mulajadi na Bolon), karena dialah yang memberi puterinya kepada seorang manusia yang ia ciptakan, yang dari keturunan mereka muncul orang Batak. Hubungannya dengan kekristenan, orang Batak  harus terlibat atau melangsungkan adat istiadat terlebih dahulu, empat macamnya adalah perkawinan, kematian, jabatan dan kepemimpinan, dan arsitektur.
            Begitu juga dengan adat yang dilakukan oleh budaya Nias. Kendati banyak perbedaan dengan adat Batak, Nias juga banyak mempunyai hal yang sama berkaitan dengan para leluhur. Warga Nias juga meyakini bahwa budaya berakar dan bertumpu pada kayakinan akan adanya pencipta dan penguasa di atas manusia di atas, dan tatanan adat juga bersumber dari para ilah itu. Orang Nias menghadirkan para ilah itu dalam wujud Adu (patung).  Nias juga menunjukkan siklus yang hampir sama dengan tradisi Batak, antara lain: Meretakan Gigi (Fangonozi; Famoto), sunat, Perkawinan, dan Kematian dan pemakaman.
            
Setelah pemaparan makalah dari Pdt. Prof. Jan Sihar Aritonang, beliau memberi kesempatan kepada Ibu Veronika untuk menggantikan pemakalah. Ibu Veronika Gunarti menjelaskan “Narasi tantang jemaat katolik perdana di Keuuskupan Tanjungkarang”. Penulis sulit menenukan tokoh pertama yang dibabtis dan sebagai tonggak berdirinya Tanjungkarang.
            Paroki Tanjungkarang secara adninistratif diangkat dari paroki mandiri. Tahun 1928 Tanjungkarang sudah resmi menjadi Keuskupan. Setiap 2 tahun sekali selalu ada kenaikan yang cukup signifikan. Perkembangan terakhir terjadi ketika tahun 2000 yakni terbentuklah Tulangbawang.  Ibu Veronika banyak menampilkan data berkaitan dengan perkembangan umat di Keuskupan Tanjungkarang, sampai akhirnya stasi-stasi yang  sudah terbentuk lupa untuk disampaikan, karena mengingat waktu yang terbatas.
            Pembicara yang ketiga adalah Rm. Aloysius Yudhistira Adhi Fitri, Lic., SCJ. Rama ini banyak melihat Gereja katolik di wilayah Sumatera Selatan, khususnya di Lampung dan Palembang. Misi Gereja katolik di Sumatera bagian selatan sudah dimulai sejak akhir abad XIX. Misi di Sumatera bagian selatan melahirkan dua Gereja Lokal, Yakni: Keuskupan Agung Palembang dan Keuskupan Tanjungkarang. Penduduk di wilayah selatan Pulau emas (Swarnadwipa) terbagi dalam kelompok-kelompok suku, antara lain: Pasemah, Organ, lampung, Rejang, Anak Dalam, Sumendo, Komering.
            Pada tahun 1778, misionaris dari Ordo Tehtijn datang ke Bengkulu untuk berkarya bagi para tentara dan pelaut Eropa. Misi yang dilakukan tidak membuahkan hasil. Pada tahun 1887 misi di Tanjung Sakti dimulai oleh P. Van Meurs, SJ. Di daerah itu ditemukan suku Pasemah yang belum mempunyai agama, maka disitulah misi dilakukan. Tahun 1889 telah ada 45 orang katokik pribumi. Sampai tahun 1912 umat katolik pribumi mencapai 660 jiwa.
           
Salah satu misionaris SCJ pertama adalah P. Van Oort, SCJ. Palembang ditemukan sebagai tempat yang tepat untuk melakukan misi. Dibuka juga misi di wilayah Lampung dan jambi. Ternyata gerakan itu menimbulkan kemandegan di wilayah selatan. Dampak setelah kemerdekaan adalah berkembagnya “Gereja pendatang” bukan “Gereja Pribumi”.
            Salah satu sesepuh adat untuk melaksanakan dialog dengan budaya lokal adalah Rama Jan Van Kampen, SCJ. Dari situlah misi dilakukan dengan cara menyisipkan ajaran katolik dalam masyarakat di Tanjung Sakti.
            Dinamika diskusi Seminar masih berlangsung hingga seminar selesai Pukul 19.00 WIB. Para audients memberi tepuk tangan kepada para pembicara atas segala hal yang boleh mereka bagikan. Acara terakhir dari seminar ini adalah pemberian kenang-kenangan oleh Rama Dekan Rm. E. Marta Sudjita., Pr. (Wili)

  Kembali
Lihat Arsip