AKTUALITA

Seminar Bulanan Fakultas mengenai Hukuman Mati

 

Masih dalam rangka Dies Natalis yang ke-31, pada hari Jumat (6/11) pukul 16.00-19.30 WIB, bertempat di Gedung Syantikara Jl. Colombo, Yogyakarta, Fakultas Teologi Univ. Sanata Dharma mengadakan seminar bulanan fakultas. Seminar kali ini bertemakan “Masih Tepatkah Kita Meng-undang-undangkan Pidana Mati?” dan menampilkan tiga pembicara, yakni: F.X. Endro Susilo S.H., LLM (dekan Fak. Hukum Univ. Atma Jaya), Prof. Dr. Marcus Priyo Gunarto (guru besar Fak. Hukum Univ. Gadjah Mada), dan Dr. Paulus Sugeng Widjaja (dosen etika Fak. Teologi Univ. Kristen Duta Wacana) dan dimoderatori Dr. Mateus Mali, CSsR (dosen teologi moral Fak. Teologi Univ. Sanata Dharma). Sebelum seminar dimulai, kota Yogyakarta diguyur air hujan yang tidak begitu deras. Hujan tidak menjadi alasan bagi para peserta seminar untuk tetap hadir dalam seminar ini. Alhasil, hampir seluruh kursi yang disediakan oleh panitia seminar terpenuhi.

Diskusi dibuka dengan pengantar oleh Rm. Mali kemudian dilanjutkan dengan pemaparan oleh semua panelis. Tidak semua penelis mempunyai tanggapan yang sama mengenai hukuman mati. Prof. Marcus setuju hukuman mati dipertahankan (diatur) dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP). Sementara dua penelis yang lain tidak setuju hukuman mati di Indonesia. Walau demikian, ketiga penelis mempunyai pendapat yang berbeda dan semuanya mempunyai dasar yang jelas pula. Bapak Endro yang mengawali diskusi mengatakan, “Pro kontra hukuman mati dipicu oleh berbagai macam realita yang sampai sekarang masih terjadi di Indonesia. Ada 3 (tiga) pemicu yang menyebabkan hukuman mati masih menjadi pro kontra. Pertama, ketidakjelasan hukuman mati yang jadwalnya tidak selalu jelas dengan pasti diberikan kapan. Contohnya, hukuman mati sudah dijatuhkan, namun eksekusinya tidak jelas. Orang bingung dengan kepastian hukum. Ia mengistilahkan ruang itu adalah ruang penantian. Kedua, adanya inkonsistensi pemerintah. Ada pihak yang setuju dengan pelaksanaan hukuman mati, namun giliran WNI dijatuhi hukuman mati, pemerintah didesak untuk membela. Lalu ketiga, adanya aneka pandangan di masyarakat. Indonesia itu majemuk, terdiri dari berpuluh-puluh suku beserta tradisinya, dan semuanya mempunyai kekhasan masing-masing.”

Prof. Marcus berbeda pendapat. Ia mengatakan, “Indonesia tidak mempunyai RUU KUHP yang orisinil. KUHP kita sekarang adalah warisan zaman kolonial Belanda.” Sudah bertahun-tahun diupayakan penyusunan KUHP yang baru, namun belum berhasil juga. Ia menyimpulkan, “Maka pidana mati itu dalam konsep KUHP diterima sebagai jalan tengah mengingat adanya pro kontra. Namun demikian, hukuman mati dalam KUHP perlu ada. Kalau tidak ada, orang bisa main hakim sendiri. Ini bahaya. Maka, pelaksanaan pidana mati harus diawasi secara ketat. Di RUU KUPH, ini sudah ada ketentuan-ketentuannya.”
Dr. Paulus lain lagi. Pendapatnya berangkat dari etika Kristen. Iman Kristen sangat menghargai hak hidup orang lain, dan yang menjadi hukum yang utama adalah kasih. Jika kasih itu sudah hilang, maka tidak akan ada lagi perdamaian. Namun inilah yang menjadi problem, iman kristiani menolak hukuman mati karena berlandaskan kasih, tetapi bagaimana bila dihadapkan pada kepercayaan yang masih mengizinkan hukuman mati itu?

Setelah para panelis menyampaikan gagasan-gagasannya, beberapa dari audiens menyampaikan pendapat, gagasan atau melontarkan pertanyaan kepada panelis.

[Wili]

  Kembali
Lihat Arsip