USD Akreditasi A English Version Alumni Email USD

Sastra dan Politik di Indonesia Pasca-1965

diupdate: 3 tahun yang lalu






Pada hari Kamis (25/3), Faculty of Oriental Studies, The University of Social Science and Humanities (USSH), Vietnam National University Ho Chi Minh City menyelenggarakan perkuliahan secara daring yang menghadirkan dosen dari Universitas Sanata Dharma (USD), Romo Dr. Baskara T. Wardaya, S.J., M.A. Perkuliahan ini dilakukan secara daring melalui Zoom, dihadiri banyak peserta kalangan mahasiswa dan dosen dari USSH serta USD. Topik yang diangkat dalam kuliah daring ini adalah Literature and Politics in the Post-1965 Indonesia. Acara ini dimoderatori oleh dosen USSH Chi Pham yang saat ini sedang melakukan studi di Jerman. Dalam perkuliahan daring ini, Romo Baskara menyampaikan bahwa era politik dan literatur di Indonesia menjadi empat bagian, yaitu Proklamasi Kemerdekaan serta Perang Revolusioner (1945-1949), Masa Pemerintahan Presiden Soekarno (1945-1965), Masa Pemerintahan Presiden Soeharto (1966-1998), dan Periode Reformasi (1998- saat ini).

Romo Baskara memulai materi tentang fakta mendasar tentang Indonesia. Indonesia memiliki pulau yang luas yaitu 17.504 yang berpusat di Ibu kota Jakarta. Kepercayaan yang dianut di Indonesia ada Islam, Katolik, Kristen, Hindu, Budha, dan ditambah dengan 100 lebih kepercayaan tradisional. Selain itu Indonesia juga memiliki 1 bahasa nasional yaitu Bahasa Indonesia dan 700 bahasa lokal. Di Indonesia juga dapat dikatakan sebagai warga bilingual karena dalam aktivitas di luar rumah mereka menggunakan bahasa resmi yaitu Bahasa Indonesia, namun saat di rumah mereka menggunakan bahasa lokal mereka.

Romo Baskara melanjutkan penjelasan tentang masa kolonial, yaitu masa penjajahan yang dialami Indonesia untuk mencapai kemerdekaan. Namun pada akhirnya Indonesia merdeka pada tahun 1945 di bawah kepemimpinan Soekarno. Pada kepemimpinan Soekarno, situasi politik saat itu adalah bahwa Indonesia menjadi negara yang demokrasi, anti kolonial, namun revolusi di Indonesia belum berakhir. “Keadaan saat itu bahwa perang melawan penjajah sudah selesai, tetapi tidak dengan revolusi sosial.” ujar Romo Baskara. Ia menambahkan bahwa revolusi sosial saat itu masih kental dengan kepemilikian tanah. Zaman itu perlu banyak penulis yang kritis dalam mendorong revolusi saat itu. Politik saat itu masih sangat berpengaruh dalam faktor seni di Indonesia. Seni pada saat itu diartikan sebagai persembahan untuk rakyat. Maka, didirikanlah Lembaga Kebudayaan Rakyat (LEKRA) dan terdapat beberapa sastrawan yang sangat terkenal yang masuk dalam LEKRA seperti Pramodya Ananta Toer dan Hersri Setiawan.

Selanjutnya, di periode kedua yaitu periode di masa pemerintahan Presiden Soekarno di tahun 1965. Tragedi yang terjadi tahun 1965 ini dianggap sebagai titik balik dunia sastra. Tragedi 1965 adalah tragedi kelam Indonesia karena memakan banyak korban yang dibunuh karena tertuduh sebagai Partai Komunis Indonesia (PKI). Keadaan tersebut rusak dan hancur karena 500.000 hingga 1 juta orang telah dibunuh. Banyak juga yang dipenjara, diasingkan bahkan dituduh termasuk Pramodya dan Hersri Setiawan. Tragedi tersebut banyak kerusakan yang terjadi di Indonesia. Kepemimpinan Soekarno kemudian digantikan dengan Soeharto. Pada Tahun 1965 Soeharto menjadi presiden dan semua peraturan dirubah. Pada tahun ini, dunia sastra di Indonesia juga berubah karena Presiden Soeharto membuka investasi dari luar negeri.

Periode ketiga adalah pada masa pemerintahan Presiden Soeharto pada tahun 1965-1998. Romo Baskara menjelaskan kepemimpinan di bawah Soeharto orientasi politik dirubah dari demokrasi menjadi kemiliteran, dari yang anti pendatang asing menjadi pendatang asing dapat bebas masuk. Dalam peroduksi literasi di bawah kepemimpinan Soeharto digunakan untuk tujuan politik. Literasi didominasi oleh pembenaran 1965 pembersihan anti komunis. Situasi sastra di Indonesia pada zaman ini sudah tidak tertuju pada kepentingan publik tetapi untuk mempublikasikan kejadian atau fakta yang terjadi di masa itu. Jurnal litetrasi yang dipublikasikan seperti Konfrontasi, Sastra, dan Horison. Saat itu, kebebasan bersuara sangat dikekang.

Periode yang terakhir adalah era setelah 1998 yaitu tahun revolusi terjadi perlawanan seperti protes massa yang dilakukan siswa untuk menurunkan presiden Soeharto dari jabatannya. Saat Soeharto sudah turun dari jabatannya, terjadi demokrasi terbuka dan kebebasan berpendapat.  Para sastrawan memulai untuk menawarkan alternatif narasi utama. Sejak tahun 1998- sekarang, sastra dan politik Indonesia sudah mulai terbuka tetapi masih perlu berhati-hati.

Kegiatan ini diakhiri dengan sesi tanya jawab dari mahasiswa USSH. Mahasiswa USSH sangat antusias mengikuti perkuliahan daring ini. Hal ini terlihat dari banyaknya pertanyaan yang diajukan oleh peserta kuliah daring. Setelah sesi tanya jawab, Romo Baskara berharap bahwa kegiatan ini bisa berlanjut di tahun-tahun berikutnya. “Semoga pandemi ini segera berakhir dan kita bisa segera bertemu satu sama lain suatu saat. Saya juga ingin sekali mengunjungi Vietnam.” tutup Romo Baskara.

(MHH & YAE)

  kembali