AKTUALITA

Joint Conference di Vidyajyoti, Delhi, India

     
     Di lingkup ilmu teologi sudah dikenal istilah “teologi kontekstual” untuk menekankan kaitan antara teologi sebagai refleksi sistematis-ilmiah dengan pengalaman orang beriman yang hidup dalam situasi tertentu. Namun disadari bahwa tidak setiap konteks atau situasi hidup secara otomatis akan melahirkan refleksi teologis. Dibutuhkan sikap tertentu untuk dapat melihat pengalaman konkrit sebagai awalan (starting point) untuk melakukan refleksi; suatu upaya mencari makna atas pengalaman manusiawi dalam kerangka rencana keselamatan Allah bagi umat manusia.
     
     Dalam rangka mempertajam sikap-sikap yang dibutuhkan dalam
 berteologi di Indonesia dan Asia, Fakultas Teologi Wedabhakti, Univeristas Sanata Dharma mengadakan joint conference dengan Vidyajyoti College of Theology, Delhi, India dan Henry Martyn Institute, Hyderabad, India, yang
berlangsung pada tanggal 29 Agustus hingga 1 September 2016 di kompleks kampus Vidyajyoti. Sepuluh dosen dari Prodi Teologi (P. Bambang Irawan SJ, CB. Mulyatno Pr, St. Gitowiratmo Pr, M. Purwatma Pr, St. Eko Riyadi Pr, F. Purwanto SCJ, M. Mali CSsR, CB. Kurmaryanto Pr, Al. Bagus Laksana SJ, D. Bismoko Mahamboro, Pr) berangkat untuk bertukar pikiran dengan para teolog India. Sayang sekali, JB. Heru Prakosa SJ selaku pemrakarsa konferensi ini sekaligus Ketua Lembaga Penelitian Teologi, tidak bisa mengikuti acara tersebut karena tugas mendesak dari Pater Jenderal Serikat Yesus.
     
     Bicara mengenai konteks berteologi bagi para teolog di India dan Indonesia, ada tiga hal yang menjadi kesamaan yakni kemiskinan, keragaman agama, dan keragaman budaya. Kedua bangsa tidak hanya sama-sama termasuk negara dengan jumlah populasi terbesar di dunia, melainkan keduanya memiliki kekayaan budaya dan keyakinan religius. Maka, bersama-sama dengan gereja-gereja lokal lainnya di Asia, Gereja Katolik di India dan Indonesia harus berdialog dengan kemiskinan, keragaman agama, serta keragaman budaya. Selama joint conference, para teolog dari Yogyakarta dan Delhi mencoba untuk menjawab pertanyaan: bagaimana kita harus berdialog dengan ketiga kenyataan Asia tersebut. Secara bergantian, kontingen dari Yogyakarta dan Delhi mempresentasikan pengamatan dan penelitian masing-masing berkaitan dengan tiga realitas khas Asia tersebut.
     Pada hari pertama, sambutan-sambutan membuka seluruh rangkaian program konferensi. Prof. Leonard Fernando SJ sebagai ketua Vidyajyoti College of Theology memberi ucapan selamat datang, disusul sambutan dari Rm. Michael T. Raj SJ selaku rektor Vidyajyoti dan  Dr. Packiam T. Samuel selaku direktur Henry Martyn Institute. Selanjutnya dinamika diskusi disampaikan oleh Dr. Victor Edwin SJ. Namun sebelum presentasi dari masing-masing kontingen dimulai, Dr. Rudolf Heredia dari Indian Social Institute, New Delhi, sebagai keynote speaker menyampaikan beberapa aspek berkaitan dengan “triple dialogue“.
     Dinamika yang ditempuh dalam program ini dirancang secara padat dan terfokus. Pada hari pertama, presentasi dan diskusi difokuskan pada dialog dengan agama-agama. Pembahasan dilakukan dari berbagai perspektif: Kitab Suci, teologi sistematik, dan moral. Tim Indonesia beranggotakan St. Eko Riyadi (Kitab Suci), A. Bagus Laksana (sistematik), dan D. Bismoko Mahamboro (moral). Sedangkan tim India terdiri dari Joseph Puthenkulam (Kitab Suci), Shalini Mulakal (sistematik), Anil D’Almeida (tradisi Hindu), dan Stanislaus Alla (moral).
     Di hari kedua, konferensi membahas dialog budaya. Secara spesifik, dibicarakan mengenai “culture as a source for healing and reconciliation” dan inkulturasi. Sharing pengalaman dari Indonesia mengenai rekonsiliasi dibawakan oleh M. Mali, sementara dari India dibawakan oleh Maria Arul Raja dan Ranjit Tigga. Sementara pengalaman dalam hal inkulturasi di Indonesia dibawakan oleh F. Purwanto dan di India oleh Paulose Mangai. Di akhir program hari kedua ini, refleksi sistematik disampaikan oleh M. Purwatma dari Indonesia dan Alangaram dari India.
     
     Di hari ketiga, diangkat topik mengenai “engaging with the poor“. Tim Indonesia terdiri dari P. Bambang Irawan (perspektif moral sosial), CB. Mulyatno (perspektif budaya), dan S. Gitowiratmo (sharing mengenai teologi proyek). Sedangkan tim India terdiri dari Jerome Sylvester (perspektif sosial) dan Tom Venad (perspektif religius-biblis).
     Agar perbincangan selama tiga hari tidak segera menguap, di hari keempat para peserta mendapatkan waktu untuk pengendapan dan rekapitulasi. Setelah misa yang dipimpin oleh Al. Bagus Laksana, para peserta berdiskusi dalam kelompok-kelompok kecil. Pleno dan ritual penutup sederhana mengakhiri seluruh rangkaian konferensi.
     Bagi kontingen Yogyakarta, konferensi ini bukan hanya kesempatan untuk memperkaya perspektif untuk  berteologi dalam konteks Indonesia. Lebih dari sekedar diskursus intelektual, ini menjadi kesempatan untuk bersentuhan secara langsung dengan kompleksitas persoalan sosial yang dihadapi oleh para teolog dan komunitas Kristiani di Indonesia. Misalnya, fenomena jarak yang semakin jauh antara orang kaya dan miskin tampaknya sama, baik di Indonesia maupun di India. Namun, akar dari ketidakadilan sosial di kedua tempat ternyata berbeda. Lebih dari sekedar akibat dari sistem ekonomi yang tidak adil (Paus Fransiskus menyebutnya sebagai “economics that kills”), kemiskinan di India memiliki dimensi religius.
 
     Berkaitan dengan pengalaman menjalin relasi 
dengan agama lain, khususnya Islam, P. Victor Edwin SJ selaku direktur Vidyajyoti Institute of Islamic Studies mengajak rombongan dari Yogyakarta mengunjungi Centre for Peace a
nd Spirituality di kawasan Nizamuddin West Market, New Delhi (www.cpsglobal.org), suatu organisasi nirlaba, non-politis yang bertujuan mempromosikan budaya damai melalui spiritualitas. Lembaga ini didirikan oleh Maulana Wahiduddin Khan, seorang ilmuwan dan penulis muslim. Dalam tatap muka, Maulana berbagi pengalaman dan wawasannya mengenai pesan perdamaian yang berakar pada Quran.
     Kesempatan mengunjungi Vidyajyoti dan secara langsung mendengar sharing pengalaman berteologi di India dan secara langsung melihat kenyataan sosial-budaya di India mendorong kontingen Indonesia untuk secara serius memikirkan kekhasan pendekatan teologi di Indonesia. Secara bertahun-tahun fakultas teologi di Yogyakarta ini memang melakukan “teologi proyek” sebagai upaya berteologi secara kontekstual. Namun, kiranya masih perlu pemikiran yang mendalam mengenai pengembangannya. Selain itu, ternyata komposisi staf pengajar Vidyajyoti menggelitik para pengajar dari Yogyakarta untuk memikirkan partisipasi pengajar perempuan. Shalini Mulackal, yang adalah seorang suster anggota tarekat religius, sejak bertahun-tahun telah memperkuat tim pengajar Vidyajyoti. Kiranya, ini adalah hal yang masih menjadi impian bagi kampus Kentungan.
     Lebih daripada itu, para pengajar dari kedua sekolah teologi ini akan melanjutkan kerjasama akademis dalam berbagai bentuk, terutama dalam penerbitan artikel pada jurnal teologi.***

  Kembali
Lihat Arsip