Berita

Misa Syukur Dies Natalis ke-31 Fakultas Sastra USD “Kepemimpinan yang Melayani: Berotoritas sekaligus Penuh Kepedulian”

26-04-2024 13:26:39 WIB

“Dalam konteks masyarakat global yang penuh dengan gejolak peperangan, politik, ekonomi, sosial, dan budaya, diperlukan kepemimpinan yang melayani, dalam arti kepemimpinan yang memiliki otoritas formal manajerial yang disertai dengan kasih dan kepedullian. Hal ini juga perlu terjadi dalam kepemimpinan kampus, baik di Universitas Sanata Dharma maupun di Fakultas Sastra”, demikian disampaikan oleh Rm. Albertus Bagus Laksana, S.J., Ph.D. yang merupakan Rektor USD dalam homilinya ketika memimpin Perayaan Ekaristi dalam rangka memperingati Dies Natalis ke-31 Fakultas Sastra USD Jumat (26/4/24) bertempat di Ruang Koendjono, Lt. 4 Gedung Pusat Administrasi Kampus II Mrican. Romo Bagus, demikian panggilan akrab Rektor USD tersebut, melihat bahwa di tengah krisis perang maupun politik akhir-akhir ini, pimpinan perguruan tinggi harus banyak berurusan dengan persoalan eksternal dalam konteks masyarakat global, misalnya Rektor Universitas Columbia di Amerika Serikat dituntut mundur karena tidak bisa menangani protes mahasiswanya terhadap perang Israel-Hamaz yang dianggap sebagai kegiatan membangun gerakan antisemitisme. Sebelumnya juga Rektor Harvard dan Pennsylvania State University harus berurusan dengan pihak keamanan Amerika Serikat atas tuduhan yang sama. “Hal ini bisa saja terjadi di Indonesia, baik dalam lingkup USD maupun Fakultas Sastra. Untuk itu, dibutuhkan pemimpin yang sanggup memiliki otoritas yang formal untuk menjalankan tugasnya sekaligus hati yang peduli, penuh kasih, kelembutan, empati, dan yang dapat menyatukan semua pihak.”, tegas Romo yang juga menggeluti sastra tersebut.
Kepemimpinan yang Melayani, sebagai tema khotbah misa syukur tersebut, menurut Rm. Bagus dapat diteladani dari dua figur dalam Kitab Suci, yaitu Petrus dan Maria. Petrus secara legal formal diberi otoritas oleh Tuhan Yesus untuk menggembalakan umat. Dia memiliki hak formal dalam menjalankan misinya, yang selanjutnya diteruskan oleh para paus. Namun demikian, Maria meskipun secara organisasional dan manajerial bukan pemimpin, tetapi dia memiliki hati yang peduli ketika dia melihat persoalan pesta pernikahan di Kana yang kehabisan anggur. Dengan kasih dan kelembutannya, Maria meminta Tuhan Yesus untuk melakukan mujizat dan meminta juru minum untuk menuruti apa yang Tuhan perintahkan. “Maria itulah yang saya maksud sebagai pemimpin non-formal”, tambahnya. “Jadi krisis dapat diatasi dengan otoritas formal dan karisma kasih dan kepedulian sebagai hal yang bersifat non-formal”, tegas Rm. Bagus.

Misa syukur dalam rangka merayakan Dies Natalis Fakultas Sastra ke-31 yang dihadiri oleh sekitar 180 umat baik dari kalangan dosen, tenaga kependidikan, perwakilan mahasiswa empat prodi (Sastra Indonesia, Sastra Inggris, Sejarah, dan S2 Sastra), maupun purnakarya berlangsung sederhana tetapi meriah. Dalam kesempatan itu pula Dekan Fakultas Sastra, Dr. Yoseph Yapi Taum, M.Hum., memberikan refleksi singkat atas perjalanan Fakultas Sastra USD melalui sambutannya. Dengan mengusung tema dies natalis “Kepemimpinan, Keadilan Sosial, dan Keadilan Ekologis”, Pak Yapi menyoroti kecenderungan beberapa akedemisi yang melepaskan sastra dari konteks referensialnya sehingga sastra menjadi text-oriented, terasing dan tidak berkaitan dengan persoalan-persoalan sosial. “Pandangan New Criticism atau Formalism merupakan salah satu pandangan yang mengasingkan sastra dari persoalan sosial”, tambahnya. Menurut Pak Yapi yang juga merupakan penulis puisi produktif ini insan Fakultas Sastra USD perlu memandang bahwa sastra seharusnya membangun jembatan penghubung antara teks dan konteks referensial. Sastra harus menyentuh realistas dan mampu melihat dan menjawab persoalan sosial, termasuk kemiskinan, persoalan ekologi, marginalisasi, demokrasi, dan kehidupan politik. “Sudah tidak seharusnya sastra a-politis, sudah seharusnya sastra tidak lagi text-oreinted. Sastra harus peduli dengan kondisi masyarakat. Jangan sampai kita masuk dalam perangkap bahaya globalisasi ketidakpedulian”, lanjutnya. Untuk itu diperlukan terobosan dan pembaharuan di Fakultas Sastra misalnya dengan kolaborasi dengan ilmu-ilmu sosial, dalam arti tidak menutup kemungkinan juga membuka program studi sosial humaniora yang baru atau merevisi nama fakultas sastra menjadi fakultas seni dan humaniora atau sosial humaniora. Demikian disampaikan dalam penutupan sambutannya. (Tti)

Kembali